Selasa, 05 Mei 2015

Menurunkan papan nama


Ada sepasang suami istri dari kalangan pengusaha besar yang hidup makmur, suka berdana, sering membantu untuk perbaikan jalan, membangun jembatan, menolong kaum miskin, dan menyumbang tanah berukuran besar kepada perkumpulan sosial. Suami istri yang amat sosial dan sudah cukup berumur ini punya satu masalah yang mengganjal di hati, yakni belum mempunyai keturunan.

Suami istri ini telah banyak berbuat kebajikan, sering berdoa di kuil atau vihara, sering memohon petunjuk kepada paranormal, juga sudah sekian kali periksa diri ke dokter, tetapi hasilnya tetap nihil. Suatu hari, melalui rekomendasi seorang temannya, suami istri ini datang menemui Lu Sheng Yen.

Mereka bertanya, "Apakah akan punya keturunan?"

Saya menekan puncak kepala, lewat cahaya suci yang muncul, saya segera tahu jawabannya dan berkata, "Berkah Yang di Atas, berkah Para Buddha dan Dewa, kalian bakal punya anak, dua putra."

Mereka bertanya, "Kapan melahirkan anak?"
"Hanya Yang di Atas Mahatahu."
Mereka menjadi gelisah, "Sebenarnya kapan?"
Saya menjawab, "Sudah punya."

Mereka berdua saling menatap kebingungan. Lalu si istri berkata, "Guru Lu bicara sembarangan, kami belum punya keturunan malah dibilang sudah punya. Saya akan menurunkan papan nama Anda."

Saya berkata, "Boleh saja."

Si suami terdiam, tampak geram, lalu menarik istrinya meninggalkan tempat. Si istri masih bergumam, "Jaman sekarang banyak penipu."

Konon si istri kemudian mulai menyebarkan gosip, "Ramalan Guru Lu sudah tidak akurat, bicara sembarangan, tukang bohong."

Lima tahun kemudian, pengusaha itu tiba-tiba meninggal dunia. Seorang wanita muda membawa sepasang anak kembar laki-laki berusia tujuh tahun muncul memperebutkan harta warisan. Melalui hasil pemeriksaan DNA, sepasang anak kembar itu memang terbukti adalah putra dari sang pengusaha. Saya sempat mengetahui berita tersebut. Namun, saya diam saja.

Suatu hari, saya mengajak keluarga makan bersama di sebuah restoran sambil mengobrol santai. Biasanya saya yang mentraktir pada acara makan seperti itu. Usai makan, saat saya hendak membayar, si kasir berkata, "Sudah dilunasi oleh seseorang. Orang ini mengatakan bahwa dia berhutang kepada Anda. la baru saja meninggalkan tempat ini."

Saya cepat-cepat keluar. Dari kejauhan, saya melihat seorang nyonya berbalik badan beranjali kepada saya, lalu melangkah pergi. Ternyata dia adalah istri pengusaha besar itu. Dia sangat tahu diri.

Setelah beberapa waktu, seorang umat menyerahkan selembar kartu nama kepada saya, di atasnya tertulis kalimat sebagai berikut:
"Diam-diam telah bersarana, kini tekun bertobat. Ramalan akurat terbukti di kemudian hari."

Dulu, istri pengusaha besar itu memaki saya sampai habis-habisan. Kini, malah bersarana kepada saya, bertobat atas kesalahannya yang dulu, dan tekun melatih Sadhana Tantra. Selain itu, ia juga berdonasi dan menjadi tenaga sukarela. Sebait gatha dari saya berbunyi sebagai berikut:
Ramalan yang akurat
Tanpa suka tanpa galau
Membina sesama tekun bersadhana
Menuju keberhasilan.

Er Lang Shen



Menurut legenda, Er Lang Shen (Ji Long Sin) adalah putra Li Bing gubernur propinsi Sichuan pada jaman dinasti Qin. Waktu itu sungai Min (cabang sungai Yang Tze yang bermata air di Sichuan) sering mengakibatkan banjir di wilayah Guan Kuo (Dekat Cheng Du). Li Bing mengajak putranya meninjau daerah bencana untuk kemudian memikirkan cara mengatasinya. Rakyat Guan Kou waktu itu sangat putus asa sehingga mengandalkan dukun untuk mengatasi banjir. Para dukun pun memanfaatkan situasi ini untuk memeras dan menakut-nakuti rakyat.

Para dukun membohongi rakyat dengan mengatakan bahwa banjir itu diakibatkan oleh Raja Naga yang ingin mencari istri. Maka rakyat diharuskan setiap tahun mengirimkan seorang gadis untuk dijadikan istri oleh Raja Naga tersebut. Li Bing bertekad mengakhiri semua ini dan berusaha menyadarkan rakyat bahwa bencana dapat dihindari asalkan mereka bersedia gotong-royong memperbaiki aliran sungai. Usaha ini tentu saja ditentang keras oleh para dukun yang melihat bahwa mereka akan rugi apabila rakyat tidak percaya lagi pada mereka.

Untuk menghadapi mereka, Li Bing mengatakan bahwa putrinya bersedia menjadi pengantin Raja Naga untuk tahun itu. Dia minta sang dukun untuk memimpin upacara. Sebelumnya Li Bing memerintahkan Er Lang untuk menangkap seekor ular air yang sangat besar, dimasukkan dalam karung dan disembunyikan di dasar sungai.  Pada saat diadakan upacara mengantar pengantin di tepi sungai, Li Bing mengatakan pada dukun, bahwa ia ingin sang Raja Naga menampakkan diri agar rakyat bisa melihat wajahnya. Sang dukun marah dan mengeluarkan ancaman. Tapi Li Bing yang telah bertekad mengakhiri praktek yang kejam dan curang ini bersikeras agar sang dukun menampilkan wujud Raja Naga.

Pada saat yang memungkinkan untuk bertindak, Li Bing memerintahkan Er Lang untuk terjun ke sungai dan memaksa sang Raja Naga untuk keluar. Setelah menyelam sejenak Er Lang muncul kembali sambil menyeret bangkai ular air itu ke tepi. Penduduk menjadi gempar. Li Bing menyatakan bahwa sang Raja Naga yang jahat sudah dibunuh, rakyat tidak usah risau akan gangguannya lagi dan tidak perlu mengorbankan anak gadis setiap tahun.

Setelah itu Li Bing mengajak rakyat untuk bergotong-royong membangun bendungan untuk mengendalikan Sungai Min. Usaha ini akhirnya berhasil dan rakyat di daerah itu terbebas dari bencana banjir. Untuk memperingati jasa-jasa Li Bing dan Er Lang di tempat itu kemudian didirikanlah klenteng peringatan.

Hari besarnya diperingati setiap tanggal 28 bulan 8 Imlek.  Er Lang Shen banyak dipuja di Propinsi Sichuan. Beberapa klenteng besar yang didirikan khusus untuknya terdapat di Chengdu yaitu Er Lang Miao, di Guan Xian dengan nama Guan Kou Miao. Pada propinsi Hunan juga memiliki beberapa klenteng Er Lang yang cukup kuno.  Er Lang Shen ditampilkan sebagai seorang pemuda tampan bermata tiga, memakai jubah keemasan, membawa tombak bermata tiga, diikuti seekor anjing, kadang-kadang ditambah pula dengan seekor elang. Beliau dianggap sebagai Dewa Pelindung Kota di tepian sungai. Sering juga ditampilkan bersama dewi Jiu Tian Xuan Nu, mereka sebagai pengawal Maha Dewa Tai Shang Lao Jun.

Senin, 04 Mei 2015

Maju tiga langkah, Mundur tiga langkah


Seorang pria sedang berjalan-jalan di tengah kota. Ia melihat seorang biksu Zen sedang meminta sumbangan untuk kuilnya. Karena tertarik, pria ini menghampiri sang biksu tersebut.

"Hai biksu, kau sedang meminta sumbangan bukan? Baiklah, aku tidak akan memberikan sumbangan, tapi aku ingin membeli kebijaksanaan darimu. Bukankah biksu Zen terkenal dengan kebijaksanaannya?", kata pria tersebut.

Si biksu terdiam sejenak, lalu berkata, "boleh, tapi kebijaksanaanku sangatlah mahal. Sebuah nasihatku bernilai 100 tael perak". Pria tersebut menjawab, "tidak masalah, asalkan terbukti kata-katamu dapat membuatku menjadi lebih bijaksana".

Maka sang biksu memberi pria itu wejangan sebagai berikut: "setiap kali anda menghadapi permasalahan apapun juga, jangan terburu-buru mengambil tindakan. Jalanlah maju tiga langkah, lalu mundur tiga langkah. Lakukan ini sebanyak 3 kali, baru ambil tindakan terhadap permasalahanmu".

Pria tersebut sulit untuk percaya, "hanya berjalan 3 langkah maju dan 3 langkah mundur selama 3 kali dapat membuatku lebih bijaksana? Aku sama sekali tidak percaya".

Sang biksu tersenyum, "kalau begitu anda tidak perlu membayarku sekarang. Tunggu sampai kata-kataku terbukti, barulah anda membayarku. Kalau tidak terbukti, anda tidak berhutang apa-apa terhadapku".

Pria tersebut senang, "baiklah kalau begitu. Aku akan membuktikan kata-katamu terlebih dahulu. Kalau memang terbukti, aku akan mencarimu dan membayarmu 100 tael perak", kata pria itu, lalu pamit dan pulang ke rumahnya.

Sampai di rumah, pria itu mencari istrinya untuk menceritakan kejadian tadi. Ia masuk ke kamar tidurnya. Ternyata sang istri sedang tidur, dan alangkah kagetnya pria itu karena di samping istrinya ternyata ada tubuh lain yang berbaring tertutup selimut. Emosi pria ini memuncak karena istrinya selingkuh, tidur dengan pria lain. Ia segera pergi ke dapur untuk mengambil golok, dengan tujuan membunuh laki-laki selingkuhan istrinya.

Ketika kembali ke kamar, tiba-tiba ia teringat dengan wejangan sang biksu zen tadi. Maka ia pun berjalan 3 langkah maju, 3 langkah mundur, sebanyak 3 kali. Tentu saja dengan perasaan yang sangat tidak sabar. Karena gerakannya yang tergesa-gesa menimbulkan bunyi berisik, istrinya terbangun. Sang istri pun terkejut karena ada tubuh lain yang berbaring di sebelahnya, sedangkan suaminya sendiri masih berdiri di samping ranjang. Spontan istrinya membuka selimut. Ternyata tubuh itu adalah adik kandung istrinya yang bermimpi buruk hingga ketakutan dan menyelinap ke ranjang kakak perempuannya untuk tidur bersama.

Seketika pria tersebut jatuh terduduk dengan lemas. Goloknya pun terlepas dari tangannya. Dengan menangis, ia menceritakan segalanya termasuk rencana membunuh tubuh yang dikira selingkuhan istrinya tersebut. Katanya, "kalau aku tidak bertemu dengan biksu bijaksana tersebut di kota, entah bagaimana nasib kita sekarang". Istrinya menenangkan suaminya dan berkata, "tenanglah, yang belum terjadi tidak perlu dipermasalahkan. Besok kita harus mencari biksu itu untuk memenuhi janjimu, membayar kebijaksanaan yang kau dapat ini".

Esok harinya mereka berdua pergi mencari biksu tersebut di tengah kota. Begitu menemukannya, mereka berniat membayar biksu tersebut, tetapi sang biksu menolaknya sambil tertawa, "kalau kalian menghindari perbuatan jahat, banyak berbuat baik, dan senantiasa mawas diri, artinya kalian sudah membayarku...."

Menjual harpa untuk menolong wanita setia

Di kota Tai-ciu hidup seorang pelajar bermarga In, walau keluarganya miskin dan hidup bersahaja namun ia suka menolong orang, tak segan-segan mengambil uang sendiri untuk keperluan orang lain, hatinya lembut juga setia kawan, pribadinya memang luhur, maklum sebagai seorang pelajar meskipun gagal meraih gelar sarjana namun tetap menjunjung tinggi norma kesusilaan.

Waktu pelajar In masih remaja, kedua orang tuanya meninggal, ia tanpa saudara, maka hidupnya sebatang kara, setelah gagal mengikuti ujian negara, akhirnya ia menyembunyikan diri dalam sebuah gubuk yang ia bangun di atas gunung dalam hutan lebat. Setiap hari ia hanya menulis dan membaca sastra.

Suatu malam saat ia bermeditasi, sayup-sayup terdengar dua hantu sedang berbicara di luar jendela kamarnya.

Salah satu hantu sedang berkata :"Istri Lie Oen-bing yang tinggal di desa bagian timur itu, karena ditinggal pergi sang suami yang berdagang ke kota besar, sudah sekian tahun tidak kunjung pulang, sepucuk surat pun tidak pernah dikirim ke rumahnya. Ayah bunda suaminya menganggap dia pasti sudah meninggal di perantauan, maka mereka hendak memaksa menantunya agar menikah lagi dengan pria lain. Ternyata istri Lie Oen-bing adalah wanita yang setia dan suci, dengan tegas ia menolak keinginan kedua mertuanya, diam-diam ia bersumpah dalam hati kalau dipaksa menikah lagi maka ia akan bunuh diri. Jika dalam satu bulan ini Lie Oen-bing tetap tidak ada kabar beritanya, dia pasti bunuh diri. Itu artinya aku sudah punya roh pengganti.”

Diam-diam pelajar In mengingat betul percakapan kedua hantu itu. Esok paginya ia turun gunung pergi ke desa untuk mencari berita. Disana memang ada keluarga dan kejadian seperti yang dibicarakan kedua hantu semalam ia.

Rumah penduduk di desa umumnya tidak terlalu besar dan beratap rendah, terdiri atas dua atau tiga petak bagian luar dan belakang, sehari-hari pekerjaan mereka adalah bercocok tanam di sawah atau ladang, laki-laki dan perempuan semuanya bekerja. Maka dengan leluasa pelajar In itu melihat sendiri istri Lie Oen-bing yang rajin bekerja memang membengkak kedua matanya, karena sudah beberapa hari ini menangisi nasib buruknya, diam-diam pelajar In kagum terhadap wanita yang teguh pendiriannya ini, berani menentang kehendak kedua mertuanya untuk dinikahkan lagi dengan laki-laki lain, meski dengan segala pengorbanan, bila perlu ia rela berkorban jiwa dan raga.

Disamping kasihan, pelajar In juga mengerti posisinya. maka ia tidak tega melihat wanita yang setia ini harus bunuh diri untuk mempertahankan kesucian dirinya. Setiba di gubuknya, ia berpikir keras mencari akal bagaimana ia harus menolong wanita itu, karena otaknya yang cerdas sehingga tak lama kemudian ia menemukan solusi.

Dari kakek buyutnya ia mendapat warisan sebuah harpa. Ia berkeputusan untuk menjual harpa itu ke kota, padahal benda itulah satu-satunya harta berharga yang  masih ia miliki sekarang. Dengan 4 keping uang perak yang diprolehnya hasil menjual harpa, pelajar In mencari bentuk tulisan Lie Oen-bing. Syukurlah dari salah seorang pembantu di rumah Lie Oen-bing ini, pelajar In mendapat buku catatan dagang yang ditulis sendiri oleh Lie Oen-bing. Meski sudah lama dan robek, tetapi tulisan dalam buku itu masih jelas kelihatan. Dengan mencontoh bentuk tulisan Lie Oen-bing, pelajar In memalsukan sepucuk surat.

Kepada seorang teman yang dipercaya, ia serahkan 4 keping uang perak dan surat palsu itu. Memintanya supaya dikirim ke rumah Lie Oen-bing. Meski suratnya palsu tapi bentuk tulisan surat itu mirip dengan tulisan putranya, apalagi ada uang perak, maka kedua orang tua Lie Oen-bing percaya dan menjadi lega serta gembira, bahwa putra tunggal rnereka ternyata masih hidup. Sehingga tidak memaksa menantunya itu menikah lagi dengan laki-laki lain.

Satu bulan kemudian, saat tengah malam, pelajar In bermeditasi, kembali ia mendengar percakapan kedua hantu itu, “Sungguh sial... sebetulnya aku sudah menemukan penggantiku, namun tak disangka, pelajar ini telah menghancurkan harapanku. Istri Lie Oen-bing jelas tidak akan bunuh diri. Tiga bulan mendatang Lie Oen-bing juga pasti pulang ke rumahnya, sia-sia saja aku menunggu selama ini.”

Hantu yang lain berkata, “Eh, kenapa kau tidak bunuh saja pelajar keparat itu?"

“Hus..” bentak hantu yang bicara duluan, ”Di kehidupan lampau pelajar ini adalah orang yang punya rejeki besar. Pada masa hidupnya yang sekarang ia juga sering berbuat baik, suatu saat ia akan lulus ujian negara dan menjadi pejabat tinggi. Mana berani aku membuat celaka orang yang mendapat berkah dari langit.”

Tiga bulan kemudian, Lie Oen-bing benar-benar pulang dari perantauan. Demikian pula pelajar In yang baik hati ini akhirnya lulus dalam ujian di ibu kota kerajaan. Sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, kaisar memberikan jabatan tinggi, setingkat dengan menteri padanya.

Minggu, 19 April 2015

Nilai Seikat Bunga

Seorang wanita telah kehilangan anaknya yang meninggal karena kecelakaan sekitar 2 tahun yang lalu. Karena cintanya, wanita tersebut selalu memikirkan sang buah hati hingga pada akhirnya jatuh sakit. Penampilannya terlihat jauh lebih tua daripada usia sebenarnya yang baru menginjak 35 tahun. Bahkan dokter memvonisnya terkena penyakit kanker dan tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi. Sebelum ajal menjemput ia ingin pergi mengunjungi pemakaman anaknya untuk terakhir kali.

Saat tiba di pintu gerbang pemakaman, ia mengutus supirnya yang bernama Mike untuk mamanggil petugas penjaga pemakaman. Sang supir itu berjalan menuju pos penjaga. Setelah memberi salam, ia berkata,

"Pak, maukah Anda menemui wanita yang ada di mobil itu? Tolonglah Pak, karena para dokter mengatakan sebentar lagi ia akan meninggal!"

Penjaga makam itu menganggukkan kepalanya tanda setuju dan ia segera berjalan di belakang sopir itu.

Seorang wanita lemah dan berwajah sedih membuka pintu mobilnya dan berusaha tersenyum kepada penjaga makam itu sambil berkata,

"Saya Ny. Steven. Saya yang selama ini mengirim uang tiap dua minggu sekali kepada Anda. Saya mengirim uang itu agar Anda dapat membeli seikat bunga dan menaruhnya di atas makam anak saya. Saya datang untuk berterima kasih atas kesediaan dan kebaikan hati Anda. Saya ingin memanfaatkan sisa hidup saya untuk berterima kasih kepada orang-orang yang telah menolong saya."

"Oh, jadi Nyonya yang selalu mengirim uang itu? Nyonya, sebelumnya saya minta maaf kepada Anda. Memang uang yang Nyonya kirimkan itu selalu saya belikan bunga, tetapi saya tidak pernah menaruh bunga itu di pusara anak Anda." jawab pria itu.
"Maaf, apa maksud Anda?" tanya wanita itu dengan gusar.

"Ya, Nyonya. Saya tidak menaruh bunga itu di sana, karena menurut saya orang mati tidak akan pernah melihat keindahan seikat bunga. Oleh karena itu setiap bunga yang saya beli, saya berikan kepada mereka yang ada di rumah sakit, orang miskin yang saya jumpai, atau mereka yang sedang bersedih. Orang-orang yang demikian masih hidup, sehingga mereka dapat menikmati keindahan dan keharuman bunga-bunga itu, Nyonya," jawab pria itu.

Wanita itu terdiam, kemudian ia mengisyaratkan agar sopirnya segera pergi.

Tiga bulan kemudian, seorang wanita cantik turun dari mobilnya dan berjalan dengan anggun ke arah pos penjaga makam.

"Selamat pagi. Apakah Anda masih ingat saya? Saya Ny. Steven. Saya datang untuk berterima kasih atas nasihat yang Anda berikan beberapa bulan yang lalu. Anda benar bahwa memperhatikan dan membahagiakan mereka yang masih hidup jauh lebih berguna daripada meratapi mereka yang sudah meninggal. Ketika saya secara langsung mengantarkan bunga-bunga itu ke rumah sakit atau panti jompo, ini tidak hanya membuat mereka bahagia, tetapi saya juga turut bahagia. Sampai saat ini para dokter tidak tahu mengapa saya bisa sembuh dari penyakit kanker, tetapi saya benar-benar yakin bahwa sukacita dan pengharapan adalah obat yang memulihkan saya!"

Jangan pernah mengasihani diri sendiri, karena itu akan membuat kita terperangkap dalam lingkaran kesedihan. Ada prinsip yang mungkin kita tahu, tetapi sering kita abaikan, yaitu dengan menolong orang lain sesungguhnya kita menolong diri sendiri.

Aku menangis untuk adikku 6 kali

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya. Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara.
Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat,tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama,saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi,telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam
uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, yang berada pada dusun berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena
cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times"

Semangkuk Nasi Merubah Nasib Seseorang

Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang terjadi di negeri Tiongkok.

Pada sebuah senja dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda yang kelihatannya seperti seorang mahasiswa berjalan mondar mandir di depan sebuah rumah makan cepat saji di kota metropolitan, menunggu sampai tamu di restoran sudah agak sepi, dengan sifat yang segan dan malu-malu dia masuk kedalam restoran tersebut. Kemudian pemuda itu berkata:

"Tolong sajikan saya semangkuk nasi putih." dengan kepala menunduk pemuda ini berkata kepada pemilik rumah makan.
Sepasang suami istri muda pemilik rumah makan, memperhatikan pemuda ini hanya meminta semangkuk nasi putih dan tidak memesan lauk apapun, lalu menghidangkan semangkuk penuh nasi putih untuknya.

Ketika pemuda ini menerima nasi putih dan sedang membayar lalu berkata dengan pelan:
"dapatkah menyiram sedikit kuah sayur di atas nasi saya."

Sang Istri berkata sambil tersenyum:
"Ambil saja apa yang engkau suka, tidak perlu bayar !"

Sebelum habis makan, pemuda ini berpikir: " kuah sayur gratis."
Lalu memesan semangkuk lagi nasi putih.

"Semangkuk tidak cukup anak muda, kali ini saya akan berikan lebih banyak lagi nasinya." Dengan tersenyum ramah pemilik rumah makan berkata kepada pemuda ini. "Bukan, saya akan membawa pulang, besok akan membawa ke sekolah sebagai makan siang saya !"

Mendengar perkataan pemuda ini, pemilik rumah makan berpikir pemuda ini tentu dari keluarga miskin di luar kota, demi menuntut ilmu datang ke kota, mencari uang sendiri untuk sekolah, kesulitan dalam keuangan itu sudah pasti.

Berpikir sampai disitu pemilik rumah makan lalu menaruh sepotong daging dan sebutir telur disembunyikan di bawah nasi, kemudian membungkus nasi tersebut sepintas terlihat hanya sebungkus nasi putih saja dan memberikan kepada pemuda ini.
Melihat perbuatannya, sang istri mengetahui suaminya sedang membantu pemuda tersebut, hanya dia tidak mengerti, kenapa daging dan telur disembunyikan dibawah nasi?

Suaminya kemudian membisik kepadanya :
"Jika pemuda ini melihat kita menaruh lauk dinasinya dia tentu akan merasa bahwa kita bersedekah kepadanya, harga dirinya pasti akan tersinggung lain kali dia tidak akan datang lagi, jika dia ketempat lain hanya membeli semangkuk nasi putih, mana ada gizi untuk bersekolah."
"Engkau sungguh baik hati, sudah menolong orang masih menjaga harga dirinya."
"Jika saya tidak baik, apakah engkau akan menjadi istriku ?"
Sepasang suami istri muda ini merasa gembira dapat membantu orang lain.
"Terima kasih, saya sudah selesai makan."

Pemuda ini pamit kepada mereka.

Ketika dia mengambil bungkusan nasinya, dia membalikan badan melihat dengan pandangan mata berterima kasih kepada mereka.
"Besok singgah lagi, engkau harus tetap bersemangat !"
katanya sambil melambaikan tangan, dalam perkataannya bermaksud mengundang pemuda ini besok jangan segan-segan datang lagi.

Sepasang mata pemuda ini berkaca-kaca terharu, mulai saat itu setiap sore pemuda ini singgah kerumah makan mereka, sama seperti biasa setiap hari hanya memakan semangkuk nasi putih dan membawa pulang sebungkus untuk bekal keesokan hari. Sudah pasti nasi yang dibawa pulang setiap hari terdapat lauk berbeda yang tersembunyi setiap hari, sampai pemuda ini tamat, selama 20 tahun pemuda ini tidak pernah muncul lagi.

Pada suatu hari, ketika suami ini sudah berumur 50 tahun lebih,
pemerintah melayangkan sebuah surat bahwa rumah makan mereka harus digusur, tiba-tiba kehilangan mata pencaharian dan mengingat anak mereka yang disekolahkan diluar negeri yang perlu biaya setiap bulan membuat suami istri ini berpelukan menangis dengan panik.
Pada saat ini masuk seorang pemuda yang memakai pakaian bermerek kelihatannya seperti direktur dari kantor bonafid.

"Apa kabar?, saya adalah wakil direktur dari sebuah perusahaan, saya diperintah oleh direktur kami mengundang kalian membuka kantin di perusahaan kami, perusahaan kami telah menyediakan semuanya kalian hanya perlu membawa koki dan keahlian kalian kesana, keuntungannya akan dibagi 2 dengan perusahaan."
"Siapakah direktur diperusahaan kamu ?, mengapa begitu baik terhadap kami? saya tidak ingat mengenal seorang yang begitu mulia !" Sepasang suami istri ini berkata dengan terheran.

"Kalian adalah penolong dan kawan baik direktur kami, direktur kami paling suka makan telur dan dendeng buatan kalian, hanya itu yang saya tahu, yang lain setelah kalian bertemu dengannya dapat bertanya kepadanya."
Akhirnya, pemuda yang hanya memakan semangkuk nasi putih ini muncul, setelah bersusah payah selama 20 tahun akhirnya pemuda ini dapat membangun kerajaaan bisnisnya dan sekarang menjadi seorang direktur yang sukses.
Dia merasa kesuksesan pada saat ini adalah berkat bantuan sepasang suami istri ini, jika mereka tidak membantunya dia tidak mungkin akan dapat menyelesaikan kuliahnya dan menjadi sesukses sekarang.

Setelah berbincang-bincang, suami istri ini pamit hendak meninggalkan kantornya.
Pemuda ini berdiri dari kursi direkturnya dan dengan membungkuk dalam-dalam berkata kepada mereka:
"Bersemangat ya ! dikemudian hari perusahaan tergantung kepada kalian, sampai bertemu besok !"

Kebaikan hati dan balas budi selamanya dalam kehidupan manusia adalah suatu perbuatan indah dan yang paling mengharukan.

Jangan Benci Aku, Mama

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga.

Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah. Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya.

Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.

Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.

Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata,
“Tante, Tante kenal mama saya? Saya rindu sekali pada Mommy!” Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya,
“Tunggu…, sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?”
“Nama saya Eric, Tante.”
“Eric? Eric… Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?”

Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati…, mati…, mati… Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric…

Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. “Mary, apa yang sebenarnya terjadi?”

“Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu.” Tapi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak...

Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric… Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu.
 
Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali… Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah.

Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama… Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya. .. Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu… Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut.

Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau. “Heii…! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!”

Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mommy…, mommy!’ Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”

Saya pun membaca tulisan di kertas itu…
“Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom…” Saya menjerit histeris membaca surat itu.

“Bu, tolong katakan… katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang!
Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!” Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana … Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini… Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana. Nyonya, dosa anda tidak terampuni!”

Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi. (kisah nyata di Irlandia utara)