Selasa, 05 Mei 2015

Menurunkan papan nama


Ada sepasang suami istri dari kalangan pengusaha besar yang hidup makmur, suka berdana, sering membantu untuk perbaikan jalan, membangun jembatan, menolong kaum miskin, dan menyumbang tanah berukuran besar kepada perkumpulan sosial. Suami istri yang amat sosial dan sudah cukup berumur ini punya satu masalah yang mengganjal di hati, yakni belum mempunyai keturunan.

Suami istri ini telah banyak berbuat kebajikan, sering berdoa di kuil atau vihara, sering memohon petunjuk kepada paranormal, juga sudah sekian kali periksa diri ke dokter, tetapi hasilnya tetap nihil. Suatu hari, melalui rekomendasi seorang temannya, suami istri ini datang menemui Lu Sheng Yen.

Mereka bertanya, "Apakah akan punya keturunan?"

Saya menekan puncak kepala, lewat cahaya suci yang muncul, saya segera tahu jawabannya dan berkata, "Berkah Yang di Atas, berkah Para Buddha dan Dewa, kalian bakal punya anak, dua putra."

Mereka bertanya, "Kapan melahirkan anak?"
"Hanya Yang di Atas Mahatahu."
Mereka menjadi gelisah, "Sebenarnya kapan?"
Saya menjawab, "Sudah punya."

Mereka berdua saling menatap kebingungan. Lalu si istri berkata, "Guru Lu bicara sembarangan, kami belum punya keturunan malah dibilang sudah punya. Saya akan menurunkan papan nama Anda."

Saya berkata, "Boleh saja."

Si suami terdiam, tampak geram, lalu menarik istrinya meninggalkan tempat. Si istri masih bergumam, "Jaman sekarang banyak penipu."

Konon si istri kemudian mulai menyebarkan gosip, "Ramalan Guru Lu sudah tidak akurat, bicara sembarangan, tukang bohong."

Lima tahun kemudian, pengusaha itu tiba-tiba meninggal dunia. Seorang wanita muda membawa sepasang anak kembar laki-laki berusia tujuh tahun muncul memperebutkan harta warisan. Melalui hasil pemeriksaan DNA, sepasang anak kembar itu memang terbukti adalah putra dari sang pengusaha. Saya sempat mengetahui berita tersebut. Namun, saya diam saja.

Suatu hari, saya mengajak keluarga makan bersama di sebuah restoran sambil mengobrol santai. Biasanya saya yang mentraktir pada acara makan seperti itu. Usai makan, saat saya hendak membayar, si kasir berkata, "Sudah dilunasi oleh seseorang. Orang ini mengatakan bahwa dia berhutang kepada Anda. la baru saja meninggalkan tempat ini."

Saya cepat-cepat keluar. Dari kejauhan, saya melihat seorang nyonya berbalik badan beranjali kepada saya, lalu melangkah pergi. Ternyata dia adalah istri pengusaha besar itu. Dia sangat tahu diri.

Setelah beberapa waktu, seorang umat menyerahkan selembar kartu nama kepada saya, di atasnya tertulis kalimat sebagai berikut:
"Diam-diam telah bersarana, kini tekun bertobat. Ramalan akurat terbukti di kemudian hari."

Dulu, istri pengusaha besar itu memaki saya sampai habis-habisan. Kini, malah bersarana kepada saya, bertobat atas kesalahannya yang dulu, dan tekun melatih Sadhana Tantra. Selain itu, ia juga berdonasi dan menjadi tenaga sukarela. Sebait gatha dari saya berbunyi sebagai berikut:
Ramalan yang akurat
Tanpa suka tanpa galau
Membina sesama tekun bersadhana
Menuju keberhasilan.

Er Lang Shen



Menurut legenda, Er Lang Shen (Ji Long Sin) adalah putra Li Bing gubernur propinsi Sichuan pada jaman dinasti Qin. Waktu itu sungai Min (cabang sungai Yang Tze yang bermata air di Sichuan) sering mengakibatkan banjir di wilayah Guan Kuo (Dekat Cheng Du). Li Bing mengajak putranya meninjau daerah bencana untuk kemudian memikirkan cara mengatasinya. Rakyat Guan Kou waktu itu sangat putus asa sehingga mengandalkan dukun untuk mengatasi banjir. Para dukun pun memanfaatkan situasi ini untuk memeras dan menakut-nakuti rakyat.

Para dukun membohongi rakyat dengan mengatakan bahwa banjir itu diakibatkan oleh Raja Naga yang ingin mencari istri. Maka rakyat diharuskan setiap tahun mengirimkan seorang gadis untuk dijadikan istri oleh Raja Naga tersebut. Li Bing bertekad mengakhiri semua ini dan berusaha menyadarkan rakyat bahwa bencana dapat dihindari asalkan mereka bersedia gotong-royong memperbaiki aliran sungai. Usaha ini tentu saja ditentang keras oleh para dukun yang melihat bahwa mereka akan rugi apabila rakyat tidak percaya lagi pada mereka.

Untuk menghadapi mereka, Li Bing mengatakan bahwa putrinya bersedia menjadi pengantin Raja Naga untuk tahun itu. Dia minta sang dukun untuk memimpin upacara. Sebelumnya Li Bing memerintahkan Er Lang untuk menangkap seekor ular air yang sangat besar, dimasukkan dalam karung dan disembunyikan di dasar sungai.  Pada saat diadakan upacara mengantar pengantin di tepi sungai, Li Bing mengatakan pada dukun, bahwa ia ingin sang Raja Naga menampakkan diri agar rakyat bisa melihat wajahnya. Sang dukun marah dan mengeluarkan ancaman. Tapi Li Bing yang telah bertekad mengakhiri praktek yang kejam dan curang ini bersikeras agar sang dukun menampilkan wujud Raja Naga.

Pada saat yang memungkinkan untuk bertindak, Li Bing memerintahkan Er Lang untuk terjun ke sungai dan memaksa sang Raja Naga untuk keluar. Setelah menyelam sejenak Er Lang muncul kembali sambil menyeret bangkai ular air itu ke tepi. Penduduk menjadi gempar. Li Bing menyatakan bahwa sang Raja Naga yang jahat sudah dibunuh, rakyat tidak usah risau akan gangguannya lagi dan tidak perlu mengorbankan anak gadis setiap tahun.

Setelah itu Li Bing mengajak rakyat untuk bergotong-royong membangun bendungan untuk mengendalikan Sungai Min. Usaha ini akhirnya berhasil dan rakyat di daerah itu terbebas dari bencana banjir. Untuk memperingati jasa-jasa Li Bing dan Er Lang di tempat itu kemudian didirikanlah klenteng peringatan.

Hari besarnya diperingati setiap tanggal 28 bulan 8 Imlek.  Er Lang Shen banyak dipuja di Propinsi Sichuan. Beberapa klenteng besar yang didirikan khusus untuknya terdapat di Chengdu yaitu Er Lang Miao, di Guan Xian dengan nama Guan Kou Miao. Pada propinsi Hunan juga memiliki beberapa klenteng Er Lang yang cukup kuno.  Er Lang Shen ditampilkan sebagai seorang pemuda tampan bermata tiga, memakai jubah keemasan, membawa tombak bermata tiga, diikuti seekor anjing, kadang-kadang ditambah pula dengan seekor elang. Beliau dianggap sebagai Dewa Pelindung Kota di tepian sungai. Sering juga ditampilkan bersama dewi Jiu Tian Xuan Nu, mereka sebagai pengawal Maha Dewa Tai Shang Lao Jun.

Senin, 04 Mei 2015

Maju tiga langkah, Mundur tiga langkah


Seorang pria sedang berjalan-jalan di tengah kota. Ia melihat seorang biksu Zen sedang meminta sumbangan untuk kuilnya. Karena tertarik, pria ini menghampiri sang biksu tersebut.

"Hai biksu, kau sedang meminta sumbangan bukan? Baiklah, aku tidak akan memberikan sumbangan, tapi aku ingin membeli kebijaksanaan darimu. Bukankah biksu Zen terkenal dengan kebijaksanaannya?", kata pria tersebut.

Si biksu terdiam sejenak, lalu berkata, "boleh, tapi kebijaksanaanku sangatlah mahal. Sebuah nasihatku bernilai 100 tael perak". Pria tersebut menjawab, "tidak masalah, asalkan terbukti kata-katamu dapat membuatku menjadi lebih bijaksana".

Maka sang biksu memberi pria itu wejangan sebagai berikut: "setiap kali anda menghadapi permasalahan apapun juga, jangan terburu-buru mengambil tindakan. Jalanlah maju tiga langkah, lalu mundur tiga langkah. Lakukan ini sebanyak 3 kali, baru ambil tindakan terhadap permasalahanmu".

Pria tersebut sulit untuk percaya, "hanya berjalan 3 langkah maju dan 3 langkah mundur selama 3 kali dapat membuatku lebih bijaksana? Aku sama sekali tidak percaya".

Sang biksu tersenyum, "kalau begitu anda tidak perlu membayarku sekarang. Tunggu sampai kata-kataku terbukti, barulah anda membayarku. Kalau tidak terbukti, anda tidak berhutang apa-apa terhadapku".

Pria tersebut senang, "baiklah kalau begitu. Aku akan membuktikan kata-katamu terlebih dahulu. Kalau memang terbukti, aku akan mencarimu dan membayarmu 100 tael perak", kata pria itu, lalu pamit dan pulang ke rumahnya.

Sampai di rumah, pria itu mencari istrinya untuk menceritakan kejadian tadi. Ia masuk ke kamar tidurnya. Ternyata sang istri sedang tidur, dan alangkah kagetnya pria itu karena di samping istrinya ternyata ada tubuh lain yang berbaring tertutup selimut. Emosi pria ini memuncak karena istrinya selingkuh, tidur dengan pria lain. Ia segera pergi ke dapur untuk mengambil golok, dengan tujuan membunuh laki-laki selingkuhan istrinya.

Ketika kembali ke kamar, tiba-tiba ia teringat dengan wejangan sang biksu zen tadi. Maka ia pun berjalan 3 langkah maju, 3 langkah mundur, sebanyak 3 kali. Tentu saja dengan perasaan yang sangat tidak sabar. Karena gerakannya yang tergesa-gesa menimbulkan bunyi berisik, istrinya terbangun. Sang istri pun terkejut karena ada tubuh lain yang berbaring di sebelahnya, sedangkan suaminya sendiri masih berdiri di samping ranjang. Spontan istrinya membuka selimut. Ternyata tubuh itu adalah adik kandung istrinya yang bermimpi buruk hingga ketakutan dan menyelinap ke ranjang kakak perempuannya untuk tidur bersama.

Seketika pria tersebut jatuh terduduk dengan lemas. Goloknya pun terlepas dari tangannya. Dengan menangis, ia menceritakan segalanya termasuk rencana membunuh tubuh yang dikira selingkuhan istrinya tersebut. Katanya, "kalau aku tidak bertemu dengan biksu bijaksana tersebut di kota, entah bagaimana nasib kita sekarang". Istrinya menenangkan suaminya dan berkata, "tenanglah, yang belum terjadi tidak perlu dipermasalahkan. Besok kita harus mencari biksu itu untuk memenuhi janjimu, membayar kebijaksanaan yang kau dapat ini".

Esok harinya mereka berdua pergi mencari biksu tersebut di tengah kota. Begitu menemukannya, mereka berniat membayar biksu tersebut, tetapi sang biksu menolaknya sambil tertawa, "kalau kalian menghindari perbuatan jahat, banyak berbuat baik, dan senantiasa mawas diri, artinya kalian sudah membayarku...."

Menjual harpa untuk menolong wanita setia

Di kota Tai-ciu hidup seorang pelajar bermarga In, walau keluarganya miskin dan hidup bersahaja namun ia suka menolong orang, tak segan-segan mengambil uang sendiri untuk keperluan orang lain, hatinya lembut juga setia kawan, pribadinya memang luhur, maklum sebagai seorang pelajar meskipun gagal meraih gelar sarjana namun tetap menjunjung tinggi norma kesusilaan.

Waktu pelajar In masih remaja, kedua orang tuanya meninggal, ia tanpa saudara, maka hidupnya sebatang kara, setelah gagal mengikuti ujian negara, akhirnya ia menyembunyikan diri dalam sebuah gubuk yang ia bangun di atas gunung dalam hutan lebat. Setiap hari ia hanya menulis dan membaca sastra.

Suatu malam saat ia bermeditasi, sayup-sayup terdengar dua hantu sedang berbicara di luar jendela kamarnya.

Salah satu hantu sedang berkata :"Istri Lie Oen-bing yang tinggal di desa bagian timur itu, karena ditinggal pergi sang suami yang berdagang ke kota besar, sudah sekian tahun tidak kunjung pulang, sepucuk surat pun tidak pernah dikirim ke rumahnya. Ayah bunda suaminya menganggap dia pasti sudah meninggal di perantauan, maka mereka hendak memaksa menantunya agar menikah lagi dengan pria lain. Ternyata istri Lie Oen-bing adalah wanita yang setia dan suci, dengan tegas ia menolak keinginan kedua mertuanya, diam-diam ia bersumpah dalam hati kalau dipaksa menikah lagi maka ia akan bunuh diri. Jika dalam satu bulan ini Lie Oen-bing tetap tidak ada kabar beritanya, dia pasti bunuh diri. Itu artinya aku sudah punya roh pengganti.”

Diam-diam pelajar In mengingat betul percakapan kedua hantu itu. Esok paginya ia turun gunung pergi ke desa untuk mencari berita. Disana memang ada keluarga dan kejadian seperti yang dibicarakan kedua hantu semalam ia.

Rumah penduduk di desa umumnya tidak terlalu besar dan beratap rendah, terdiri atas dua atau tiga petak bagian luar dan belakang, sehari-hari pekerjaan mereka adalah bercocok tanam di sawah atau ladang, laki-laki dan perempuan semuanya bekerja. Maka dengan leluasa pelajar In itu melihat sendiri istri Lie Oen-bing yang rajin bekerja memang membengkak kedua matanya, karena sudah beberapa hari ini menangisi nasib buruknya, diam-diam pelajar In kagum terhadap wanita yang teguh pendiriannya ini, berani menentang kehendak kedua mertuanya untuk dinikahkan lagi dengan laki-laki lain, meski dengan segala pengorbanan, bila perlu ia rela berkorban jiwa dan raga.

Disamping kasihan, pelajar In juga mengerti posisinya. maka ia tidak tega melihat wanita yang setia ini harus bunuh diri untuk mempertahankan kesucian dirinya. Setiba di gubuknya, ia berpikir keras mencari akal bagaimana ia harus menolong wanita itu, karena otaknya yang cerdas sehingga tak lama kemudian ia menemukan solusi.

Dari kakek buyutnya ia mendapat warisan sebuah harpa. Ia berkeputusan untuk menjual harpa itu ke kota, padahal benda itulah satu-satunya harta berharga yang  masih ia miliki sekarang. Dengan 4 keping uang perak yang diprolehnya hasil menjual harpa, pelajar In mencari bentuk tulisan Lie Oen-bing. Syukurlah dari salah seorang pembantu di rumah Lie Oen-bing ini, pelajar In mendapat buku catatan dagang yang ditulis sendiri oleh Lie Oen-bing. Meski sudah lama dan robek, tetapi tulisan dalam buku itu masih jelas kelihatan. Dengan mencontoh bentuk tulisan Lie Oen-bing, pelajar In memalsukan sepucuk surat.

Kepada seorang teman yang dipercaya, ia serahkan 4 keping uang perak dan surat palsu itu. Memintanya supaya dikirim ke rumah Lie Oen-bing. Meski suratnya palsu tapi bentuk tulisan surat itu mirip dengan tulisan putranya, apalagi ada uang perak, maka kedua orang tua Lie Oen-bing percaya dan menjadi lega serta gembira, bahwa putra tunggal rnereka ternyata masih hidup. Sehingga tidak memaksa menantunya itu menikah lagi dengan laki-laki lain.

Satu bulan kemudian, saat tengah malam, pelajar In bermeditasi, kembali ia mendengar percakapan kedua hantu itu, “Sungguh sial... sebetulnya aku sudah menemukan penggantiku, namun tak disangka, pelajar ini telah menghancurkan harapanku. Istri Lie Oen-bing jelas tidak akan bunuh diri. Tiga bulan mendatang Lie Oen-bing juga pasti pulang ke rumahnya, sia-sia saja aku menunggu selama ini.”

Hantu yang lain berkata, “Eh, kenapa kau tidak bunuh saja pelajar keparat itu?"

“Hus..” bentak hantu yang bicara duluan, ”Di kehidupan lampau pelajar ini adalah orang yang punya rejeki besar. Pada masa hidupnya yang sekarang ia juga sering berbuat baik, suatu saat ia akan lulus ujian negara dan menjadi pejabat tinggi. Mana berani aku membuat celaka orang yang mendapat berkah dari langit.”

Tiga bulan kemudian, Lie Oen-bing benar-benar pulang dari perantauan. Demikian pula pelajar In yang baik hati ini akhirnya lulus dalam ujian di ibu kota kerajaan. Sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, kaisar memberikan jabatan tinggi, setingkat dengan menteri padanya.