Di kota Chen Tung, Taiwan. pada satu jalan yang dekat sebuah sungai besar, ada
5 restoran yang menjual bakmi daging sapi. Di antara ke 5 restoran tersebut,
terdapat satu restoran yang sangat laris, dikunjungi banyak pelanggan yang
bahkan bersedia mengantri. Antrian para pelanggan sampai membentuk sebuah
barisan dari satu ujung jalan hingga ujung jalan lainnya. Sedangkan ke 4
restoran lainnya jarang dikunjungi tamu, paling hanya dua atau tiga orang saja.
Sungguh fenomena yang aneh.
Komentar para pelanggan tentang restoran tersebut antara lain:
“Resepnya sangat bagus."
"Kualitasnya
unggul. Harganya pantas." Sebenarnya ke 5 restoran memasang harga yang
hampir sama.
"Rebusan
daging sapinya sangat enak. Cara mengolahnya khusus."
"Tidak
sama, yang ini benar-benar spesial."
"Pakai resep rahasia."
Saya pribadi datang untuk melihat sendiri betapa panjang antriannya. Kapan pun
sama saja. Orang-orang berbaris dengan tenang, tidak sudi pergi ke restoran
yang lain. Apa boleh buat. Saya
sendiri menyerah.Tujuan saya makan bakmi disana adalah untuk menganalisa
hongshui, untuk menyelidiki mengapa hanya satu restoran yang laris sedangkan
restoran lainnya sepi.
Saat mengantri, saya mendengar dialog bisik-bisik para pelanggan: "Kau
datang lagi."
"Hmm.. Saya bahkan setiap hari datang
kesini. Kenapa kau juga datang?"
"Makanan
di restoran ini lebih sedap dari pada ke 4 restoran lainnya."
"Membuka
satu restoran yang ramai begini, keuntungannya tak habis diraup."
"Dari
kesuksesan satu restoran kecil ini saja, bosnya bisa membangun sebuah bisnis
properti."
"Wah. Benarkah?" Bola mata orang itu hampir copot.
"Tentu
saja benar."
Antrian
perlahan-lahan bergerak. Tidak ada orang yang merasa kesal karena mengantri
terlalu lama. Semua menunggu dengan sabar. Setelah antrian saya mendekati
restoran, saya mulai memperhatikan "seluk beluk hongshui" restoran
itu, namun tidak menemukan sesuatu yang istimewa. Ruangan di dalam restoran
tidak luas. Hanya ada sekitar 9 meja persegi empat dan 2 meja bundar. Meja
persegi empat bisa ditempati 2 orang. Meja bundar bisa ditempati sekitar 5 stau
6 orang. Semua kursi kecil yang berbentuk bundar terpakai. Situasi terlihat
sangat ramai. Kuah daging sapi terlihat masih panas. Orang orang sedang makan
dengan asyiknya.
Di dalam restoran, ada 4 pekerja. 2 orang bertugas mengantar bakmi. Salah satu
diantaranya seperti idiot, terlihat dari wajah dan caranya berjalan. Orang ke
tiga bertugas mencatat pesanan. Sebenarnya sangat mudah mencatat pesanan karena
menu hanya terbagi menjadi porsi besar, porsi sedang, dan porsi kecil. Orang ke
empat berdiri di meja kasir untuk menerima uang.
Tidak ada petugas yang menyambut para tamu. Jika tiba gilirannya masuk, begitu
melihat ada kursi kosong, silahkan langsung duduk. Pekerja restoran akan
merapihkan mangkok dan sumpit bekas, lap meja, menerima pesanan, menghidangkan
bakmi, selesai. Kalau ada 5 orang yang mau duduk dalam satu meja, pekerja
restoran akan meminta tamu yang datang sendirian untuk pindah tempat duduk.
Tidak ada pertengkaran karena persoalan tempat duduk. Di dapur, hitam dan
gelap, tidak terlihat bagian dalamnya.
Saya melihat di atas meja kasir ada sebuah altar dewa. Disana terlihat sebuah
hiolou (tempat dupa). Di belakang hiolou diletakkan sebongkah batu. Di atas
batu dituliskan kata-kata yang tidak terlihat jelas oleh saya. Di kiri dan
kanannya diletakkan barang perhiasan dari ukiran kayu. Altar ini terlihat biasa
saja, sama sekali tidak aneh.
Restoran itu memiliki 3 pintu, satu pintu besar tempat keluar masuknya para
tamu, satu pintu tembus ke ruang dapur, satu pintu lagi adalah toilet. Hidangan
bakmi yang saya pesan sudah datang, hanya seporsi kecil. Saya makan bakminya
dan minum kuahnya, ingin menganalisa apakah sebab musabab larisnya usaha ini
karena kelezatan makanannya. Saya meneliti aroma daging sapi, tingkat kelezatan
kuah, dan kwalitas bahan bakminya.
Meski memang lumayan lezatnya, saya beranggapan kwalitasnya tidak jauh berbeda
dengan tingkat kelezatan bakmi di restoran lainnya yang pernah saya tes. Dalam
hati saya berkata, "Laris sekedar reputasi". Selesai makan, saya
berjalan keluar dari pintu restoran, masih tidak mengerti alasan larisnya
restoran ini.
Tiba-tiba punggung saya terdorong sebentar. Begitu saya menolehkan kepala, saya
terperanjat. Restoran mie sudah lenyap. Yang terlihat adalah sebuah taman kecil
yang sangat sejuk. Juga, ada sebuah kolam kecil. Di tepi kolam, ada pohon
willow yang berjuntai, beberapa tanaman bunga. Di atas tanaman bunga, ada
kupu-kupu yang sedang terbang menari.
Di kolam kecil, ada sebatang cemara besar. Disitu, tergantung sebuah ayunan.
Banyak anak kecil sedang bermain ayunan, berayun kesana kemari. Saya merasa
tempat ini benar benar bagus. Saya membalikkan badan, masuk ke dalam alam itu.
"Siapa kau?" Seorang anak kecil yang paling senior bertanya.
"Saya
baru mau tanya kau ini siapa?" Saya balik bertanya.
"Saya
tidak akan memberitahu mu."
Anak kecil itu punya kewaspadaan, tidak mau sembarang menjawab. "Kau,
tuyul kecil, tidak mau menjawab, juga tidak apa-apa. Saya sudah tahu bahwa
kalian pasti ada hubungan nya dengan restoran mie itu. Kalian lah yang membuat
usaha di restoran ini menjadi sangat laris. Kalian telah menarik semua
pengunjung. Ayo, betul tidak?"
Kata-kata saya mengejutkan mereka semua. Mereka membisu, saling menatap.
Akhirnya yang paling senior bertanya, "Apakah salah berbuat seperti
itu?"
Saya tidak bisa cepat menjawabnya.
"Tetapi ini tidak alamiah." Akhirnya saya jawab.
"Restoran
ini adalah restoran papa saya. Saya harus bantu siapa kalau bukan
membantunya?"
"Pantas saja."
Tuyul yang paling senior itu bertanya lagi kepada saya, "Siapa kau?
Bagaimana bisa masuk ke dalam taman kami?"
"Saya
adalah Lu Sheng Yen."
"Oh! Kau adalah Lu Sheng Yen, Dewa Agung. Ternyata kau adalah Dewa Agung.
Kami tidak tahu bahwa Dewa Agung akan datang kesini. Mohon ampun atas
ketidaktahuan kami. Dari dulu kami sudah mendengar nama besar Dewa Agung, tahu
bahwa kau bisa berkelana ke dunia roh, bahwa kau memahami Dharma mulia dan
telah mencapai tingkat tertinggi. Dewa Agung bersikap welas asih dimana saja.
Semoga anda tidak merusak kebajikan yang sedang kami lakukan." Tuyul itu
pintar sekali bicara.
"Kau hanya membantu usaha ayahmu. Ini tidak apa apa. Tapi, kalian tidak
boleh mengganggu dan mencelakakan warga disini."
"Tentu saja, tentu saja." Tuyul
lainnya berkata, "Kami tidak begitu kok."
Saya
bertanya, "Bagaimana kalian bisa berkumpul bersama?"
Si tuyul senior memberitahu saya: la bernama
Shen Fu, meninggal dunia pada usia 12 tahun karena sakit. Selama beberapa lama,
arwahnya gentayangan dan terlantar.
la sendiri tidak mengerti apa sebabnya.Kemudian di rumahnya sendiri, ia
menemukan barang mainan yang dulu dibeli ayahnya. Ada sebuah mangkok kecil,
diisi dengan air, di atasnya ada tanaman bunga kecil, ada pohon kecil, ada
sebuah batu gunung buatan.Shen Fu menempel di batu gunung tersebut. Lalu, Shen
Fu masuk ke dalam mimpi ibunya dan berkata, "Arwah saya tidak punya
tempat tinggal sehingga menempel di batu gunung. Bila saya dipelihara, menerima
sedikit asap dupa, maka usaha restoran mie bisa membaik." Setelah bangun, ibu Shen Fu menceritakan mimpinya kepada sang suami.
Papa Shen Fu adalah orang yang sama sekali tidak percaya kebenaran mimpi, "Apa-apaan. Mengambil mangkok kecil, memasukkan mainan ke dalamnya,
memasang dupa. Pepatah mengatakan bahwa mimpi muncul hanya karena hati
merindukan. Omong kosong seperti ini tidak usah dipercaya." Menyadari ia
belum berhasil, Shen Fu jadi resah dan masuk lagi ke dalam mimpi ibunya,
"Usaha besok 808."
Esok pagi, si ibu menceritakan lagi mimpinya kepada sang suami. Papa Shen Fu
masih belum perduli. Ketika hampir tutup restoran, ia menghitung uang
permasukan hari itu dan mendapatkan jumlahnya hanya sekitar 400. Dalam hati,
papa Shen Fu berpikir, "Tuh kan omong kosong dalam mimpi itu tidak tepat.
Memasang mangkok kecil dan batu gunung, arwah bersemayam di batu gunung,
semuanya hanya omong kosong belaka."
Pintu restoran sudah ditutup separuh. Tak disangka, masuk sekelompok pelajar
yang bertanya apakah restorannya masih berjualan atau tidak. Papa Shen Fu
menjawab, "Masih jual." Kuali dipanaskan lagi. Mie dimasak lagi.
Daging sapi sejak semula memang sudah matang. Satu kelompok pelajar secara
bergiliran datang. Ternyata pelajar-pelajar ini adalah siswa yang pergi study
tour dengan naik bis pariwisata. Karena hari sudah mulai malam, semua pelajar
itu sepakat bahwa setelah makan mie barulah pulang. Papa Shen Fu menghitung
lagi hasil pemasukan hari itu. Ternyata benar-benar 808. la menjadi tertegun.
Setelah beberapa hari, Shen Fu masuk lagi ke dalam mimpi, meramalkan terjadinya
sesuatu hal.
Ternyata memang terjadi sesuai petunjuk Shen Fu. Kitab Suci Buddha menyebutkan bahwa
arwah punya lima jenis kemampuan gaib.Ternyata tidak salah. Sekarang ayah dan
ibu Shen Fu sudah percaya seluruhnya. Mereka memasang mangkok kecil dan batu
gunung sesuai petunjuk Shen Fu. Diatas batu, hanya dituliskan satu kata yaitu
"Roh". Dupa dipasang pada pagi dan malam hari. Mengenai arwah
tuyul-tuyul lainnya, mereka diajak berkumpul oleh Shen Fu. Ini adalah sebab
utama mengapa restoran mie yang dibuka ayah Shen Fu sangat laris dan
reputasinya terkenal ke semua penjuru. Saya menghela nafas dan berkata, "Bahwa
kau membalas budi pada orang tua, saya tidak bisa berkomentar apa apa. Namun,
berkumpulnya para roh janin (tuyul) disini akan lambat laun membuat hawa
negatif (yin) menyelimuti tempat ini. Bila kelak timbul akibatnya, bukankah
bisa menimbulkan dendam?"
"Dewa Agung. Selamatkanlah jiwa kami semua."
"Apakah kau mau reinkarnasi?" tanya saya.
"Mau."
"Menurut perhitungan saya, ayahmu masih mempunyai berkah selama 3 tahun.
Kalian bantu dia selama 3 tahun lagi. Kau boleh masuk ke dalam mimpi orang tua
mu, memberi petunjuk kepada mereka supaya meletakkan mangkok kecil dan batu
gunung di loteng paling atas dari restoran mie ini sehingga menerima saripati
matahari dan bulan, mengambil hawa roh dari langit dan bumi. Setelah pas 3
tahun, otomatis akan kembali ke asal, lalu bisa reinkarnasi lagi di dunia
manusia."
Shen Fu menjawab, "Kami semua dingin dan kotor. Mana sanggup menerima
saripati matahari dan bulan?"
"Berdasarkan
titah Hu dari saya, maka akan bisa." Saya menggambar titah Hu di atas
tubuh mereka.
Mereka sangat gembira. Titah Hu ini bukan Hu biasa. Saya menggarnbar dengan
menggunakan jari, menggerakkan prana secara terkonsentrasi. Mereka berlutut
mengantar kepergian saya.
Saya membalikkan badan, pergi dengan langkah besar. Hari itu, bila ada orang
yang bertemu dengan saya di jalan, pasti melihat saya seorang diri sedang
berdiri di jalan raya, bicara sendiri, sesekali menggerakkan tangan dan kaki.
Orang lain pasti akan mengatakan, "Orang ini sakit jiwa."
Saya menulis sebuah sajak untuk mengenang kejadian ini: Kaisar Langit
melahirkan saya di dunia fana. Dengan semu melewati semi dan gugur penderitaan
di dunia. Bagaimana tahu kadang-kadang masuk yin dan yang. Memberi bimbingan
berdasarkan jodoh bukanlah hal biasa.
Sekitar 3 tahun kemudian, saya kebetulan berjalan melewati restoran mie itu
lagi. Saya masuk ke dalam, memesan satu mangkok mie daging sapi. Terlihat usaha
restoran ini tidak selaris dulu lagi. Di depan pintu, sudah tidak ada orang
yang antri berbaris. Yang menjual mie tinggal ayah dan ibu Shen Fu, sudah tidak
ada pelayan lagi.
Ibu Shen Fu menghidangkan semangkok mie kepada saya, namun ia tersandung lantai
yang tidak rata sehingga mie tertumpah di lantai. Ayah Shen Fu mengeluh,
"Sial. Mie bisa tumpah." Mendengar omelan si suarni, ibu Shen Fu balas
mengomel, "Kau yang tidak berguna, malah mengorneli saya." Ayah Shen
Fu berkata, "Bukan saya yang tidak berguna. Mangkok kecil dan batu gunung
itu yang tidak berguna. Shen Fu yang tidak berguna."
Mendengar suami istri itu bertengkar, saya berkata, "Harga semangkok mie
tidak seberapa. Janganlah bertengkar karena persoalan kecil ini. Putra kalian
telah membantu rejeki kalian selama bertahun tahun. Kalian harus benar-benar
menghargainya. Sekarang ia telah beristirahat. Hidup ini adakalanya mujur,
adakalanya tidak. Hidup manusia dikuasai takdir. Ada saatnya bunga mekar. Tidak
mungkin orang senantiasa mujur."
Mendengar ucapan saya, ayah Shen Fu tertegun, "Siapa anda?"
"Lu
Sheng Yen."
Ibu Shen Fu terperanjat, "Lu Sheng Yen.
Nama ini sangat saya kenali. Shen Fu berulang kali berpesan bahwa kami harus
belajar Dharma dari mu, bahwa kau adalah Dewa Agung sejati."
Saya tertawa, "Saya bukan Dewa Agung. Saya adalah Vajra Master."
Saya berbincang-bincang tentang Buddha Dharma dengan suami-istri tersebut. Mereka
sangat tertarik, lalu berguru kepada saya. Di kemudian hari saya makan mie
disitu, tidak perlu membayar lagi. Ha..ha..ha!