Minggu, 19 April 2015

Nilai Seikat Bunga

Seorang wanita telah kehilangan anaknya yang meninggal karena kecelakaan sekitar 2 tahun yang lalu. Karena cintanya, wanita tersebut selalu memikirkan sang buah hati hingga pada akhirnya jatuh sakit. Penampilannya terlihat jauh lebih tua daripada usia sebenarnya yang baru menginjak 35 tahun. Bahkan dokter memvonisnya terkena penyakit kanker dan tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi. Sebelum ajal menjemput ia ingin pergi mengunjungi pemakaman anaknya untuk terakhir kali.

Saat tiba di pintu gerbang pemakaman, ia mengutus supirnya yang bernama Mike untuk mamanggil petugas penjaga pemakaman. Sang supir itu berjalan menuju pos penjaga. Setelah memberi salam, ia berkata,

"Pak, maukah Anda menemui wanita yang ada di mobil itu? Tolonglah Pak, karena para dokter mengatakan sebentar lagi ia akan meninggal!"

Penjaga makam itu menganggukkan kepalanya tanda setuju dan ia segera berjalan di belakang sopir itu.

Seorang wanita lemah dan berwajah sedih membuka pintu mobilnya dan berusaha tersenyum kepada penjaga makam itu sambil berkata,

"Saya Ny. Steven. Saya yang selama ini mengirim uang tiap dua minggu sekali kepada Anda. Saya mengirim uang itu agar Anda dapat membeli seikat bunga dan menaruhnya di atas makam anak saya. Saya datang untuk berterima kasih atas kesediaan dan kebaikan hati Anda. Saya ingin memanfaatkan sisa hidup saya untuk berterima kasih kepada orang-orang yang telah menolong saya."

"Oh, jadi Nyonya yang selalu mengirim uang itu? Nyonya, sebelumnya saya minta maaf kepada Anda. Memang uang yang Nyonya kirimkan itu selalu saya belikan bunga, tetapi saya tidak pernah menaruh bunga itu di pusara anak Anda." jawab pria itu.
"Maaf, apa maksud Anda?" tanya wanita itu dengan gusar.

"Ya, Nyonya. Saya tidak menaruh bunga itu di sana, karena menurut saya orang mati tidak akan pernah melihat keindahan seikat bunga. Oleh karena itu setiap bunga yang saya beli, saya berikan kepada mereka yang ada di rumah sakit, orang miskin yang saya jumpai, atau mereka yang sedang bersedih. Orang-orang yang demikian masih hidup, sehingga mereka dapat menikmati keindahan dan keharuman bunga-bunga itu, Nyonya," jawab pria itu.

Wanita itu terdiam, kemudian ia mengisyaratkan agar sopirnya segera pergi.

Tiga bulan kemudian, seorang wanita cantik turun dari mobilnya dan berjalan dengan anggun ke arah pos penjaga makam.

"Selamat pagi. Apakah Anda masih ingat saya? Saya Ny. Steven. Saya datang untuk berterima kasih atas nasihat yang Anda berikan beberapa bulan yang lalu. Anda benar bahwa memperhatikan dan membahagiakan mereka yang masih hidup jauh lebih berguna daripada meratapi mereka yang sudah meninggal. Ketika saya secara langsung mengantarkan bunga-bunga itu ke rumah sakit atau panti jompo, ini tidak hanya membuat mereka bahagia, tetapi saya juga turut bahagia. Sampai saat ini para dokter tidak tahu mengapa saya bisa sembuh dari penyakit kanker, tetapi saya benar-benar yakin bahwa sukacita dan pengharapan adalah obat yang memulihkan saya!"

Jangan pernah mengasihani diri sendiri, karena itu akan membuat kita terperangkap dalam lingkaran kesedihan. Ada prinsip yang mungkin kita tahu, tetapi sering kita abaikan, yaitu dengan menolong orang lain sesungguhnya kita menolong diri sendiri.

Aku menangis untuk adikku 6 kali

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya. Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara.
Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat,tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama,saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi,telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam
uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, yang berada pada dusun berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena
cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times"

Semangkuk Nasi Merubah Nasib Seseorang

Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang terjadi di negeri Tiongkok.

Pada sebuah senja dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda yang kelihatannya seperti seorang mahasiswa berjalan mondar mandir di depan sebuah rumah makan cepat saji di kota metropolitan, menunggu sampai tamu di restoran sudah agak sepi, dengan sifat yang segan dan malu-malu dia masuk kedalam restoran tersebut. Kemudian pemuda itu berkata:

"Tolong sajikan saya semangkuk nasi putih." dengan kepala menunduk pemuda ini berkata kepada pemilik rumah makan.
Sepasang suami istri muda pemilik rumah makan, memperhatikan pemuda ini hanya meminta semangkuk nasi putih dan tidak memesan lauk apapun, lalu menghidangkan semangkuk penuh nasi putih untuknya.

Ketika pemuda ini menerima nasi putih dan sedang membayar lalu berkata dengan pelan:
"dapatkah menyiram sedikit kuah sayur di atas nasi saya."

Sang Istri berkata sambil tersenyum:
"Ambil saja apa yang engkau suka, tidak perlu bayar !"

Sebelum habis makan, pemuda ini berpikir: " kuah sayur gratis."
Lalu memesan semangkuk lagi nasi putih.

"Semangkuk tidak cukup anak muda, kali ini saya akan berikan lebih banyak lagi nasinya." Dengan tersenyum ramah pemilik rumah makan berkata kepada pemuda ini. "Bukan, saya akan membawa pulang, besok akan membawa ke sekolah sebagai makan siang saya !"

Mendengar perkataan pemuda ini, pemilik rumah makan berpikir pemuda ini tentu dari keluarga miskin di luar kota, demi menuntut ilmu datang ke kota, mencari uang sendiri untuk sekolah, kesulitan dalam keuangan itu sudah pasti.

Berpikir sampai disitu pemilik rumah makan lalu menaruh sepotong daging dan sebutir telur disembunyikan di bawah nasi, kemudian membungkus nasi tersebut sepintas terlihat hanya sebungkus nasi putih saja dan memberikan kepada pemuda ini.
Melihat perbuatannya, sang istri mengetahui suaminya sedang membantu pemuda tersebut, hanya dia tidak mengerti, kenapa daging dan telur disembunyikan dibawah nasi?

Suaminya kemudian membisik kepadanya :
"Jika pemuda ini melihat kita menaruh lauk dinasinya dia tentu akan merasa bahwa kita bersedekah kepadanya, harga dirinya pasti akan tersinggung lain kali dia tidak akan datang lagi, jika dia ketempat lain hanya membeli semangkuk nasi putih, mana ada gizi untuk bersekolah."
"Engkau sungguh baik hati, sudah menolong orang masih menjaga harga dirinya."
"Jika saya tidak baik, apakah engkau akan menjadi istriku ?"
Sepasang suami istri muda ini merasa gembira dapat membantu orang lain.
"Terima kasih, saya sudah selesai makan."

Pemuda ini pamit kepada mereka.

Ketika dia mengambil bungkusan nasinya, dia membalikan badan melihat dengan pandangan mata berterima kasih kepada mereka.
"Besok singgah lagi, engkau harus tetap bersemangat !"
katanya sambil melambaikan tangan, dalam perkataannya bermaksud mengundang pemuda ini besok jangan segan-segan datang lagi.

Sepasang mata pemuda ini berkaca-kaca terharu, mulai saat itu setiap sore pemuda ini singgah kerumah makan mereka, sama seperti biasa setiap hari hanya memakan semangkuk nasi putih dan membawa pulang sebungkus untuk bekal keesokan hari. Sudah pasti nasi yang dibawa pulang setiap hari terdapat lauk berbeda yang tersembunyi setiap hari, sampai pemuda ini tamat, selama 20 tahun pemuda ini tidak pernah muncul lagi.

Pada suatu hari, ketika suami ini sudah berumur 50 tahun lebih,
pemerintah melayangkan sebuah surat bahwa rumah makan mereka harus digusur, tiba-tiba kehilangan mata pencaharian dan mengingat anak mereka yang disekolahkan diluar negeri yang perlu biaya setiap bulan membuat suami istri ini berpelukan menangis dengan panik.
Pada saat ini masuk seorang pemuda yang memakai pakaian bermerek kelihatannya seperti direktur dari kantor bonafid.

"Apa kabar?, saya adalah wakil direktur dari sebuah perusahaan, saya diperintah oleh direktur kami mengundang kalian membuka kantin di perusahaan kami, perusahaan kami telah menyediakan semuanya kalian hanya perlu membawa koki dan keahlian kalian kesana, keuntungannya akan dibagi 2 dengan perusahaan."
"Siapakah direktur diperusahaan kamu ?, mengapa begitu baik terhadap kami? saya tidak ingat mengenal seorang yang begitu mulia !" Sepasang suami istri ini berkata dengan terheran.

"Kalian adalah penolong dan kawan baik direktur kami, direktur kami paling suka makan telur dan dendeng buatan kalian, hanya itu yang saya tahu, yang lain setelah kalian bertemu dengannya dapat bertanya kepadanya."
Akhirnya, pemuda yang hanya memakan semangkuk nasi putih ini muncul, setelah bersusah payah selama 20 tahun akhirnya pemuda ini dapat membangun kerajaaan bisnisnya dan sekarang menjadi seorang direktur yang sukses.
Dia merasa kesuksesan pada saat ini adalah berkat bantuan sepasang suami istri ini, jika mereka tidak membantunya dia tidak mungkin akan dapat menyelesaikan kuliahnya dan menjadi sesukses sekarang.

Setelah berbincang-bincang, suami istri ini pamit hendak meninggalkan kantornya.
Pemuda ini berdiri dari kursi direkturnya dan dengan membungkuk dalam-dalam berkata kepada mereka:
"Bersemangat ya ! dikemudian hari perusahaan tergantung kepada kalian, sampai bertemu besok !"

Kebaikan hati dan balas budi selamanya dalam kehidupan manusia adalah suatu perbuatan indah dan yang paling mengharukan.

Jangan Benci Aku, Mama

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga.

Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah. Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya.

Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.

Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.

Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata,
“Tante, Tante kenal mama saya? Saya rindu sekali pada Mommy!” Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya,
“Tunggu…, sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?”
“Nama saya Eric, Tante.”
“Eric? Eric… Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?”

Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati…, mati…, mati… Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric…

Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. “Mary, apa yang sebenarnya terjadi?”

“Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu.” Tapi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak...

Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric… Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu.
 
Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali… Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah.

Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama… Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya. .. Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu… Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut.

Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau. “Heii…! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!”

Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mommy…, mommy!’ Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”

Saya pun membaca tulisan di kertas itu…
“Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom…” Saya menjerit histeris membaca surat itu.

“Bu, tolong katakan… katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang!
Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!” Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana … Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini… Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana. Nyonya, dosa anda tidak terampuni!”

Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi. (kisah nyata di Irlandia utara)

Bakmi Tuyul

Di kota Chen Tung, Taiwan. pada satu jalan yang dekat sebuah sungai besar, ada 5 restoran yang menjual bakmi daging sapi. Di antara ke 5 restoran tersebut, terdapat satu restoran yang sangat laris, dikunjungi banyak pelanggan yang bahkan bersedia mengantri. Antrian para pelanggan sampai membentuk sebuah barisan dari satu ujung jalan hingga ujung jalan lainnya. Sedangkan ke 4 restoran lainnya jarang dikunjungi tamu, paling hanya dua atau tiga orang saja. Sungguh fenomena yang aneh.

Komentar para pelanggan tentang restoran tersebut antara lain:
“Resepnya sangat bagus."
"Kualitasnya unggul. Harganya pantas." Sebenarnya ke 5 restoran memasang harga yang hampir sama.
"Rebusan daging sapinya sangat enak. Cara mengolahnya khusus."
"Tidak sama, yang ini benar-benar spesial."
"Pakai resep rahasia."

Saya pribadi datang untuk melihat sendiri betapa panjang antriannya. Kapan pun sama saja. Orang-orang berbaris dengan tenang, tidak sudi pergi ke restoran yang lain. Apa boleh buat. Saya sendiri menyerah.Tujuan saya makan bakmi disana adalah untuk menganalisa hongshui, untuk menyelidiki mengapa hanya satu restoran yang laris sedangkan restoran lainnya sepi.

Saat mengantri, saya mendengar dialog bisik-bisik para pelanggan: "Kau datang lagi."
"Hmm.. Saya bahkan setiap hari datang kesini. Kenapa kau juga datang?"
"Makanan di restoran ini lebih sedap dari pada ke 4 restoran lainnya."
"Membuka satu restoran yang ramai begini, keuntungannya tak habis diraup."
"Dari kesuksesan satu restoran kecil ini saja, bosnya bisa membangun sebuah bisnis properti."
"Wah. Benarkah?" Bola mata orang itu hampir copot.
"Tentu saja benar."

Antrian perlahan-lahan bergerak. Tidak ada orang yang merasa kesal karena mengantri terlalu lama. Semua menunggu dengan sabar. Setelah antrian saya mendekati restoran, saya mulai memperhatikan "seluk beluk hongshui" restoran itu, namun tidak menemukan sesuatu yang istimewa. Ruangan di dalam restoran tidak luas. Hanya ada sekitar 9 meja persegi empat dan 2 meja bundar. Meja persegi empat bisa ditempati 2 orang. Meja bundar bisa ditempati sekitar 5 stau 6 orang. Semua kursi kecil yang berbentuk bundar terpakai. Situasi terlihat sangat ramai. Kuah daging sapi terlihat masih panas. Orang orang sedang makan dengan asyiknya.

Di dalam restoran, ada 4 pekerja. 2 orang bertugas mengantar bakmi. Salah satu diantaranya seperti idiot, terlihat dari wajah dan caranya berjalan. Orang ke tiga bertugas mencatat pesanan. Sebenarnya sangat mudah mencatat pesanan karena menu hanya terbagi menjadi porsi besar, porsi sedang, dan porsi kecil. Orang ke empat berdiri di meja kasir untuk menerima uang.

Tidak ada petugas yang menyambut para tamu. Jika tiba gilirannya masuk, begitu melihat ada kursi kosong, silahkan langsung duduk. Pekerja restoran akan merapihkan mangkok dan sumpit bekas, lap meja, menerima pesanan, menghidangkan bakmi, selesai. Kalau ada 5 orang yang mau duduk dalam satu meja, pekerja restoran akan meminta tamu yang datang sendirian untuk pindah tempat duduk. Tidak ada pertengkaran karena persoalan tempat duduk. Di dapur, hitam dan gelap, tidak terlihat bagian dalamnya.

Saya melihat di atas meja kasir ada sebuah altar dewa. Disana terlihat sebuah hiolou (tempat dupa). Di belakang hiolou diletakkan sebongkah batu. Di atas batu dituliskan kata-kata yang tidak terlihat jelas oleh saya. Di kiri dan kanannya diletakkan barang perhiasan dari ukiran kayu. Altar ini terlihat biasa saja, sama sekali tidak aneh.

Restoran itu memiliki 3 pintu, satu pintu besar tempat keluar masuknya para tamu, satu pintu tembus ke ruang dapur, satu pintu lagi adalah toilet. Hidangan bakmi yang saya pesan sudah datang, hanya seporsi kecil. Saya makan bakminya dan minum kuahnya, ingin menganalisa apakah sebab musabab larisnya usaha ini karena kelezatan makanannya. Saya meneliti aroma daging sapi, tingkat kelezatan kuah, dan kwalitas bahan bakminya.

Meski memang lumayan lezatnya, saya beranggapan kwalitasnya tidak jauh berbeda dengan tingkat kelezatan bakmi di restoran lainnya yang pernah saya tes. Dalam hati saya berkata, "Laris sekedar reputasi". Selesai makan, saya berjalan keluar dari pintu restoran, masih tidak mengerti alasan larisnya restoran ini.

Tiba-tiba punggung saya terdorong sebentar. Begitu saya menolehkan kepala, saya terperanjat. Restoran mie sudah lenyap. Yang terlihat adalah sebuah taman kecil yang sangat sejuk. Juga, ada sebuah kolam kecil. Di tepi kolam, ada pohon willow yang berjuntai, beberapa tanaman bunga. Di atas tanaman bunga, ada kupu-kupu yang sedang terbang menari.

Di kolam kecil, ada sebatang cemara besar. Disitu, tergantung sebuah ayunan. Banyak anak kecil sedang bermain ayunan, berayun kesana kemari. Saya merasa tempat ini benar benar bagus. Saya membalikkan badan, masuk ke dalam alam itu.

"Siapa kau?" Seorang anak kecil yang paling senior bertanya.
"Saya baru mau tanya kau ini siapa?" Saya balik bertanya.
"Saya tidak akan memberitahu mu."

Anak kecil itu punya kewaspadaan, tidak mau sembarang menjawab. "Kau, tuyul kecil, tidak mau menjawab, juga tidak apa-apa. Saya sudah tahu bahwa kalian pasti ada hubungan nya dengan restoran mie itu. Kalian lah yang membuat usaha di restoran ini menjadi sangat laris. Kalian telah menarik semua pengunjung. Ayo, betul tidak?"

Kata-kata saya mengejutkan mereka semua. Mereka membisu, saling menatap. Akhirnya yang paling senior bertanya, "Apakah salah berbuat seperti itu?"
Saya tidak bisa cepat menjawabnya. "Tetapi ini tidak alamiah." Akhirnya saya jawab.
"Restoran ini adalah restoran papa saya. Saya harus bantu siapa kalau bukan membantunya?"
"Pantas saja."

Tuyul yang paling senior itu bertanya lagi kepada saya, "Siapa kau? Bagaimana bisa masuk ke dalam taman kami?"
"Saya adalah Lu Sheng Yen."

"Oh! Kau adalah Lu Sheng Yen, Dewa Agung. Ternyata kau adalah Dewa Agung. Kami tidak tahu bahwa Dewa Agung akan datang kesini. Mohon ampun atas ketidaktahuan kami. Dari dulu kami sudah mendengar nama besar Dewa Agung, tahu bahwa kau bisa berkelana ke dunia roh, bahwa kau memahami Dharma mulia dan telah mencapai tingkat tertinggi. Dewa Agung bersikap welas asih dimana saja. Semoga anda tidak merusak kebajikan yang sedang kami lakukan." Tuyul itu pintar sekali bicara.

"Kau hanya membantu usaha ayahmu. Ini tidak apa apa. Tapi, kalian tidak boleh mengganggu dan mencelakakan warga disini."
"Tentu saja, tentu saja." Tuyul lainnya berkata, "Kami tidak begitu kok."
Saya bertanya, "Bagaimana kalian bisa berkumpul bersama?"
Si tuyul senior memberitahu saya: la bernama Shen Fu, meninggal dunia pada usia 12 tahun karena sakit. Selama beberapa lama, arwahnya gentayangan dan terlantar.

la sendiri tidak mengerti apa sebabnya.Kemudian di rumahnya sendiri, ia menemukan barang mainan yang dulu dibeli ayahnya. Ada sebuah mangkok kecil, diisi dengan air, di atasnya ada tanaman bunga kecil, ada pohon kecil, ada sebuah batu gunung buatan.Shen Fu menempel di batu gunung tersebut. Lalu, Shen Fu masuk ke dalam mimpi ibunya dan berkata, "Arwah saya  tidak punya tempat tinggal sehingga menempel di batu gunung. Bila saya dipelihara, menerima sedikit asap dupa, maka usaha restoran mie bisa membaik." Setelah bangun, ibu Shen Fu menceritakan mimpinya kepada sang suami.

Papa Shen Fu adalah orang yang sama sekali tidak percaya kebenaran mimpi, "Apa-apaan. Mengambil mangkok kecil, memasukkan mainan ke dalamnya, memasang dupa. Pepatah mengatakan bahwa mimpi muncul hanya karena hati merindukan. Omong kosong seperti ini tidak usah dipercaya." Menyadari ia belum berhasil, Shen Fu jadi resah dan masuk lagi ke dalam mimpi ibunya, "Usaha besok 808."

Esok pagi, si ibu menceritakan lagi mimpinya kepada sang suami. Papa Shen Fu masih belum perduli. Ketika hampir tutup restoran, ia menghitung uang permasukan hari itu dan mendapatkan jumlahnya hanya sekitar 400. Dalam hati, papa Shen Fu berpikir, "Tuh kan omong kosong dalam mimpi itu tidak tepat. Memasang mangkok kecil dan batu gunung, arwah bersemayam di batu gunung, semuanya hanya omong kosong belaka."

Pintu restoran sudah ditutup separuh. Tak disangka, masuk sekelompok pelajar yang bertanya apakah restorannya masih berjualan atau tidak. Papa Shen Fu menjawab, "Masih jual." Kuali dipanaskan lagi. Mie dimasak lagi. Daging sapi sejak semula memang sudah matang. Satu kelompok pelajar secara bergiliran datang. Ternyata pelajar-pelajar ini adalah siswa yang pergi study tour dengan naik bis pariwisata. Karena hari sudah mulai malam, semua pelajar itu sepakat bahwa setelah makan mie barulah pulang. Papa Shen Fu menghitung lagi hasil pemasukan hari itu. Ternyata benar-benar 808. la menjadi tertegun. Setelah beberapa hari, Shen Fu masuk lagi ke dalam mimpi, meramalkan terjadinya sesuatu hal.

Ternyata memang terjadi sesuai petunjuk Shen Fu. Kitab Suci Buddha menyebutkan bahwa arwah punya lima jenis kemampuan gaib.Ternyata tidak salah. Sekarang ayah dan ibu Shen Fu sudah percaya seluruhnya. Mereka memasang mangkok kecil dan batu gunung sesuai petunjuk Shen Fu. Diatas batu, hanya dituliskan satu kata yaitu "Roh". Dupa dipasang pada pagi dan malam hari. Mengenai arwah tuyul-tuyul lainnya, mereka diajak berkumpul oleh Shen Fu. Ini adalah sebab utama mengapa restoran mie yang dibuka ayah Shen Fu sangat laris dan reputasinya terkenal ke semua penjuru. Saya menghela nafas dan berkata, "Bahwa kau membalas budi pada orang tua, saya tidak bisa berkomentar apa apa. Namun, berkumpulnya para roh janin (tuyul) disini akan lambat laun membuat hawa negatif (yin) menyelimuti tempat ini. Bila kelak timbul akibatnya, bukankah bisa menimbulkan dendam?"

"Dewa Agung. Selamatkanlah jiwa kami semua."
"Apakah kau mau reinkarnasi?" tanya saya.
"Mau."
"Menurut perhitungan saya, ayahmu masih mempunyai berkah selama 3 tahun. Kalian bantu dia selama 3 tahun lagi. Kau boleh masuk ke dalam mimpi orang tua mu, memberi petunjuk kepada mereka supaya meletakkan mangkok kecil dan batu gunung di loteng paling atas dari restoran mie ini sehingga menerima saripati matahari dan bulan, mengambil hawa roh dari langit dan bumi. Setelah pas 3 tahun, otomatis akan kembali ke asal, lalu bisa reinkarnasi lagi di dunia manusia."

Shen Fu menjawab, "Kami semua dingin dan kotor. Mana sanggup menerima saripati matahari dan bulan?"
"Berdasarkan titah Hu dari saya, maka akan bisa." Saya menggambar titah Hu di atas tubuh mereka.
Mereka sangat gembira. Titah Hu ini bukan Hu biasa. Saya menggarnbar dengan menggunakan jari, menggerakkan prana secara terkonsentrasi. Mereka berlutut mengantar kepergian saya.

Saya membalikkan badan, pergi dengan langkah besar. Hari itu, bila ada orang yang bertemu dengan saya di jalan, pasti melihat saya seorang diri sedang berdiri di jalan raya, bicara sendiri, sesekali menggerakkan tangan dan kaki. Orang lain pasti akan mengatakan, "Orang ini sakit jiwa."

Saya menulis sebuah sajak untuk mengenang kejadian ini: Kaisar Langit melahirkan saya di dunia fana. Dengan semu melewati semi dan gugur penderitaan di dunia. Bagaimana tahu kadang-kadang masuk yin dan yang. Memberi bimbingan berdasarkan jodoh bukanlah hal biasa.

Sekitar 3 tahun kemudian, saya kebetulan berjalan melewati restoran mie itu lagi. Saya masuk ke dalam, memesan satu mangkok mie daging sapi. Terlihat usaha restoran ini tidak selaris dulu lagi. Di depan pintu, sudah tidak ada orang yang antri berbaris. Yang menjual mie tinggal ayah dan ibu Shen Fu, sudah tidak ada pelayan lagi.

Ibu Shen Fu menghidangkan semangkok mie kepada saya, namun ia tersandung lantai yang tidak rata sehingga mie tertumpah di lantai. Ayah Shen Fu mengeluh, "Sial. Mie bisa tumpah." Mendengar omelan si suarni, ibu Shen Fu balas mengomel, "Kau yang tidak berguna, malah mengorneli saya." Ayah Shen Fu berkata, "Bukan saya yang tidak berguna. Mangkok kecil dan batu gunung itu yang tidak berguna. Shen Fu yang tidak berguna."

Mendengar suami istri itu bertengkar, saya berkata, "Harga semangkok mie tidak seberapa. Janganlah bertengkar karena persoalan kecil ini. Putra kalian telah membantu rejeki kalian selama bertahun tahun. Kalian harus benar-benar menghargainya. Sekarang ia telah beristirahat. Hidup ini adakalanya mujur, adakalanya tidak. Hidup manusia dikuasai takdir. Ada saatnya bunga mekar. Tidak mungkin orang senantiasa mujur."

Mendengar ucapan saya, ayah Shen Fu tertegun, "Siapa anda?"
"Lu Sheng Yen."
Ibu Shen Fu terperanjat, "Lu Sheng Yen. Nama ini sangat saya kenali. Shen Fu berulang kali berpesan bahwa kami harus belajar Dharma dari mu, bahwa kau adalah Dewa Agung sejati."
Saya tertawa, "Saya bukan Dewa Agung. Saya adalah Vajra Master."

Saya berbincang-bincang tentang Buddha Dharma dengan suami-istri tersebut. Mereka sangat tertarik, lalu berguru kepada saya. Di kemudian hari saya makan mie disitu, tidak perlu membayar lagi. Ha..ha..ha!

Obat Tetes Mata Ajaib

Berikut ini sebuah pengalaman V.A Lu Sheng Yen berkaitan dengan hal “mengundang roh”.

Ada seorang pria bernama Tai-nan yang sudah beristri, ketika dulu mereka menikah sampai 6 tahun juga masih belum punya anak. Maka mereka berdoa dengan tulus dan yakin kepada dewa En Zhu Gong memohon anak.

Malam harinya mereka bermimpi sang dewa berkata kepada mereka “Sebetulnya kalian ditakdirkan tidak punya anak, namun mengingat kalian telah berdoa siang dan malam dengan tulus, saya akan meminjamkan seorang buah hati untuk kalian. Ingatlah!” Terbangun dari mimpi meski terheran heran, suami istri tersebut tidak mengangap serius mimpi itu, namun karena selama 3 sampai 4 malam berturut turut mereka bermimpi sang dewa mengatakan hal yang sama, mereka menjadi yakin bahwa En Zhu Gong benar-benar memberi petunjuk.

Tak lama kemudian sang istri hamil dan melahirkan seorang putri yang diberi nama Tai-Ai. Setelah dewasa berparas cantik jelita, feminim, anggun, lemah lembut juga cerdas. Ia sangat dikasihi dan dilindungi oleh kedua orang tuanya, Ia sangat disukai semua orang. Namun pada usia 16 tahun Tai-Ai menderita sejenis penyakit dan mati muda. Hal ini membuat kedua suami istri itu menangis habis habisan.

Selama ini mereka bukannya lupa dengan peringatan Dewa En Zhu Gong bahwa Tai-Ai tidak akan berumur panjang. Mereka hanya berpikir positif, umur panjang adalah sesuatu yang relatif, berumur sampai 80 atau 90 tahun juga tidak bisa ditafsirkan berumur panjang.

Mereka kembali meminta petunjuk dari dewa En Zhu Gong, Sang dewa pun hadir melalui pena medium dan terjadilah dialog :
“Tai-Ai pergi kemana?”
“kembali ke alam surga”
“ini sungguh kejam”
“hidup dan mati sesungguhnya sama saja, alam surga lebih menyenangkan dibanding alam manusia, jadi janganlah bersedih”
“kami tentu sedih dan ingin sungguh melihat Tai-Ai”

Sang dewa tidak menjawab
Suami istri itu bersujud 3 kali sebelum bertanya lagi, “apakah kami boleh melihat Tai-Ai?”
“sulit sulit sulit”
“Cukup sekali saja kami akan puas!”

Pena berhenti menulis beberapa saat sebelum akhirnya menjawab : “ada satu orang yang bisa membimbing kalian untuk melihat Tai-Ai satu kali, namun beliau belum tentu akan setuju, biarlah saya sendiri yang memohon kepada beliau, memandang muka saya beliau pasti bersedia membantu kalian melihat Tai-Ai satu kali, saya bersedia membantu kalian secara khusus mengingat kalian yang telah berdoa kepada saya dengan penuh ketulusan hati”

“siapa beliau itu??”
“Dia adalah Buddha hidup Lu Sheng Yen!!”

Suami istri itu akhirnya benar benar berjumpa dengan saya, dan mengutarakan bahwa mereka datang berdasarkan petunjuk khusus dari dewa En Zhu Gong yang turun ke pena seorang medium, serta memperlihatkan kertas yang bertulisan pesan permohonan dari dewa tersebut.

Saya tertegun.
“Membawa kalian melihat Tai-Ai di surga? Apa dewa En Zhu Gong enggak salah? Apa saya punya kemampuan seperti itu?”
“Menurut dewa En Zhu Gong anda sanggup melakukannya”
“En Zhu Gong enggak boleh begitu, main lempar tanggung jawab saja, saya akan mencari dia”

Setelah berkomunikasi dengan En Zhu Gong saya mendapatkan informasi bahwa niat Tai Nan dan istrinya untuk berjumpa dengan almarhum anaknya telah ditanggapi positif oleh sang anak (Tai-Ai) yang sekarang berada di surga, Tai-Ai telah setuju untuk turun ke bumi pada saat bulan purnama tanggal 15 bulan 8 (penanggalan imlek). Masalahnya adalah pihak orang tua yang tidak bisa melihat makhluk halus, jadi menurut dewa En Zhu Gong satu-satunya cara adalah mengandalkan kekuatan dari master Lu Sheng Yen”

“Apakah mengatur supaya Tai-Ai masuk ke mimpi orang tua mereka?”
“Bukan,,kalau sekedar cuma masuk ke mimpi, Tai Ai sendiri juga bisa”
“Jadi apa yang harus dilakukan?”
“Mereka harus bisa melihat Tai-Ai dengan mata kepala sendiri”
“ini........”
“Saya tahu bahwa Lu Sheng Yen punya kemampuan demikian, jangan menyangkal.......”

Pada saat tanggal 15 bulan 8 saya berada ditaman rumah keluarga Tai Nan, sepasang suami istri itu sangat gelisah, tak bosan bertanya apakah putri mereka sudah datang. Mereka juga bertanya harus berkata apa kepada almarhum apabilah telah bertemu dengannya, saya tertawa terbahak-bahak dan menjawab mengingat bahwa Tai Ai adalah putri mereka, ya utarakanlah segala sesuatu yang memang ingin dikatakan”

Di bawah pancaran rembulan saya berjalan seorang diri di antara bebungaan, tiba tiba saya melihat bayangan berkelebatan, seorang gadis berpakaian hijau dengan gincu merah di bibir. Ia menghampiri saya sambil tersenyum memperlihatkan dua baris gigi yang putih, dia sangat cantik, tubuhnya ringan melayang seperti angin.

Saya berkata “sudah datang”
Kedua orang tuanya bertanya tanya “dimana??” enggak kelihatan apapun? Mereka menoleh ke berbagai penjuru untuk mencari-cari....

Saya berkata “tunggu sebentar”
Lalu saya mengeluarkan sebuah botol kecil mirip obat tetes mata, seperti halnya menggunakan obat tetes mata, saya meminta mereka untuk meneteskan ke mata masing-masing.

“Air apa ini??”
“Obat tetes mata, ha ha ha.....” jawab saya

Begitu diteteskan mata mereka berdua menjadi lebih jelas daripada normalnya, malam yang gelap serasa terang seperti siang hari, tiba-tiba mereka melihat Tai Ai berdiri dihadapan mereka dengan lemah gemulai seperti dewi kahyangan, keharuman bunga anggrek tercium dari bau tubuhnya Tai Ai jubah surgawinya terang dan bersih sungguh mulia tiada tara, membuat kedua orangtuanya tertegun, lama tak bisa berkata kata.

Nyonya Tai Nan yang sangat sayang kepada putrinya menangis terisak-isak, Tai Nan sendiri hanya diam menatap putrinya. Kemudian mereka bertiga berpelukan dan bercakap panjang lebar mengenai berbagai hal. Ketika Tai Ai akan pamit dia beranjali dan berterima kasih kepada saya dia juga berpesan kepada orang tuanya “Janganlah melekat kepada hal hidup dan mati, semua fenomena adalah mimpi, gelembung busa dan bayangan, hanya ilusi belaka. Yang akan lenyap dengan cepat."

Kini di dunia ada seorang Vajra Master yang sangat luar biasa, ayah dan ibu harusnyalah berguru padaNya dan melatih batin. Sedangkan saya telah tinggal di alam yang penuh keberuntungan dan kebajikan, pertemuan ini menunjukkan ikatan jodoh yang dalam. Bila kita sering ingin bertemu kita harus berguru kepada guru sejati dan belajar ilmu tantra yang sangat berharga”

“kami tidak mengerti hal beginian” kata orang tuanya. Tai Ai menunjuk kepada saya “Bergurulah kepada Beliau”..........

Tai Ai perlahan lahan terbang sambil menyanyikan syair : “ikatan jodoh kekeluargaan yang berlangsung di alam manusia ternyata eksis pula di alam Dharma  Dhatu, bernostalgia tentang ikatan jodoh selama ini meninggalkan air mata sedih dan gembira secara bersamaan...” Tai Ai pun lenyap tak terlihat lagi

Sepasang suami istri itu pun akhirnya berguru kepada saya untuk berlatih Tantrayana, mereka menjadikan En Zhu Gong sebagai Yidam utama, En Zhu Gong dalam Tantrayana adalah “Yang Arya Jia-Lan” (Kwan Kong) dengan mantra “Om Jia Lan Siddhi Hum”

Suatu hari kemudian Tai Nan bertanya kepada saya “Obat tetes mata apa itu yang digunakan pada hari itu?”
“Sebenarnya itu bukan obat tetes mata, itu adalah air mata yang mengalir pada saat seseorang hampir meninggal dunia. Setelah diberkati dengan Ilmu Tantra air itu bisa di gunakan untuk membuka mata Yin”
Tai Nan terperanjat mendengar penjelasan saya. Ha ha ha ha……

Memancing Ikan

Lin Cia Chun adalah seorang pegawai negeri, dia mempunyai satu hobi yaitu memancing. Saat libur, dia pasti ikut berpartisipasi dalam klub memancing dengan berlayar ke laut lepas. Di Thailand ini merupakan olahraga yang terbaru.

Klub memancing ini memiliki anggota antara 80 hingga 90 orang, namun yang sering berlayar sambil memancing hanyalah sekitar 30 orang. Setiap hari minggu dengan berbekal arak dan makanan ringan, mereka pun mulai berlayar ke laut ketika subuh. Di tengah laut, mereka mulai memancing sambil minum arak, lalu ikan yang baru dipancing itu kemudian dibakar dan dicampur dengan arak, rasanya manis dan lezat.

Kira-kira jam 4 sore baru kembali ke darat, ikan hasil pancingan sebagian ada yang dibawa pulang ke rumah dan sebagian lagi diserahkan ke koki klub tersebut. Mereka meminum arak sambil makan ikan yang segar, ada yang main kartu, ada juga yang main billiard, sampai tengah malam atau kadang sampai esok pagi baru selesai dan pulang ke rumah, saat yang paling bahagia dalam kehidupan mereka hanya seperti itu saja.

Klub memancing ini awalnya hanya 7 anggota saja, namun lama kelamaan bertambah hingga 90 orang. Cia Chun adalah anggota yang paling aktif, sampai ada orang yang bilang bahwa klub pancing ini seperti rumahnya sendiri, memancing adalah istrinya dan diapun tidak menyangkalnya. Namun sejak tahun lalu anggotanya mulai berkurang, setiap hari minggu yang datang berkumpul hanya tinggal 30 orang dan yang masih berlayar paling hanya 7 atau 8 orang saja.

Kegiatan berlayar yang dulunya sangat diminati itu, lama-kelamaan menjadi sepi, klub memancing pun mulai pasif dan akhirnya tutup sama sekali. Ternyata penyebabnya adalah 2 kejadian yang terjadi berturut-turut. Kejadian ini sangat aneh, sehingga membuat Cia Chun yang tidak percaya akan agama dan hukum karma pun tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Kejadian yang pertama itu menimpa anggota klub senior, namanya Nai Pan. Suatu kali di hari minggu Nai Pan tidak ikut memancing, karena menemani istrinya menghadiri pesta ulang tahun mertua. Sang mertua termasuk orang yang cukup ternama, sehingga banyak tamu-tamu agung yang datang mengucapkan selamat ulang tahun. Pesta tidak dirayakan di hotel, melainkan orang-orang sendiri yang memasaknya.

Di tempat itu bila diadakan pesta pasti tersedia banyak menu, biasanya daging sapi, daging babi lalu ada ikan, udang, daging bebek dan daging angsa, ada yang digoreng ada yang dibakar, ada pula tersedia sop ikan yang pedas, orang Thailand menyebutnya "nong cen", para tamu boleh makan dan minum hingga puas.

Nai Pan mempunyai 1 kesenangan yaitu suka makan isi perut ikan, ya ususnya, ya ginjalnya, semuanya tak ada yang disisakan. Hari ini Nai Pan mendapatkan masakan 1 ikan besar, betapa girangnya dia, dia tidak mengigitnya pelan-pelan namun langsung ditelannya. Begitu baru ditelan sampai di tengah tenggorokan, dia merasa dalam tenggorokannya ada benda keras yang menempel, dia cepat-cepat menggunakan tangan untuk menariknya, tapi tetap tak bisa ditarik keluar, juga tidak bisa ditelan, sehingga benar-benar kesulitan bernafas, ingin menjerit saja tidak mampu.

Yang pertama kali merasa Nai Pan tidak beres adalah iparnya lalu dengan cepat-cepat menuntunnya, tapi pada saat itu mata Nai Pan sudah memutih, badan sudah lemas, nafas pun hampir terputus. Semua orang kalang kabut dan cepat-cepat memapah Nai Pan naik ke mobil dan segera diantar ke puskesmas terdekat, tapi petugas disana tidak bisa mengurusnya sehingga harus segera dibawa ke rumah sakit pemerintah, namun sayangnya baru sampai pertengahan jalan, Nai Pan menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Walaupun orangnya sudah meninggal, namun dokter tetap melakukan otopsi untuk melihat penyebab kematian Nai Pan. Dokter membelah tenggorokan Nai Pan, setelah dilihat ternyata penyebab kematiannya adalah jeroan ikan, benar-benar aneh! Dokter dan suster serta teman sanak saudara menjadi binggung, ternyata ada kejadian yang aneh seperti ini. Jeroan ikan yang berada dalam tenggorokan itu di dalamnya terdapat sebuah kail pancing. Kail itu menggantung di tenggorokan bagian atas, maka dari itu waktu teman-temannya memasukan tangan ingin mengambil benda itu sangatlah susah.

Semua orang yang berada disitu setelah melihat kejadian ini, dengan sendirinya sadar bahwa Nai Pan adalah anggota klub memancing, sehari-hari biasanya memang hobi memancing, dia paling pandai memancing, di saat orang lain tidak mendapatkan hasil pancingan, namun Nai Pan mendapatkan hasil yang banyak. Di saat meninggal, matanya membalik putih, mulut terbuka lebar, di dalam mulutnya terdapat kail yang mengail mulutnya, persis seperti keadaan ikan yang biasa terpancing olehnya, sehingga membuat bulu roma merinding, maka jangan tidak percaya hukum karma, bagaikan bayangan mengikuti badan.

Sedangkan masalah yang ke dua juga terjadi pada anggota klub memancing yang bernama Yang Pi Ik, ia adalah pakar memancing, sering mengikuti perlombaan, selalu mendapatkan juara 1. Belum lama ini Yang Pik Ik membeli motor, setiap malam bersama sang kekasih pergi jalan-jalan. Pada hari itu jam 11 malam, dia pergi mengunjungi salah satu temannya yang juga anggota klub memancing, setelah berbicara sebentar ia mengendarai motornya pulang ke rumah.

Sebenarnya dengan mata tertutup pun sudah bisa mengendarai motor sampai ke rumah, tapi sangatlah aneh, di depan mata tiba-tiba muncul sungai terbentang luas, ini sebelumnya tidak pernah ada. Karena ingin menghindari sungai, dia mengerem sekuat-kuatnya dan terdengarlah suara benturan yang keras "Bang....", motornya menabrak tiang lampu, dan sewaktu sadar dia sudah berada di rumah sakit.

Yang Pi Ik mengendarai motor menabrak tiang lampu, ini memang kejadian yang tidak dapat diduga, namun masih bisa dianggap wajar. Tetapi ada kejadian aneh setelah itu. Semua luka ditubuhnya begitu cepat sembuh, hanya saja mulut dan tenggorokannya luka berat sehingga semua giginya lepas dan tidak bisa makan, selama sebulan ini dia makan dengan diinfus. Anehnya lagi, luka bibir atas dan bawah sudah 7 kali dijahit oleh dokter, namun tetap belum bisa sembuh juga.

Setiap kali mulutnya sudah membaik dan buka jahitan, esok hari mulutnya membengkak dan membusuk. Lalu dokter menggunakan jahitan kimia, sehingga setelah 7 hari,jahitannya lepas sendiri, namun mulutnya mulai membengkak lagi. Dokter pun sudah tidak berdaya, berusaha mengobati hingga 10 kali, namun tak kunjung sembuh. Siksaan yang sudah beberapa bulan ini membuatnya menderita. Yang Pi Ik sudah mulai putus asa, mulutnya yang bengkak seperti ikan memakan ulat di kail, mulutnya seperti kena pancing.

Pada suatu hari, kekasih Yang Pi Ik menjenguknya dan tiba-tiba berkata, "Mulutmu ini seperti mulut ikan waktu kena pancing." Kata-kata ini membuat hati Yang Pi Ik merinding, dia baru sadar, setiap kali ikan hasil pancingan, mulut ikan tersebut pasti robek. Dia merasa bersalah, dengan ditemani sang kekasih menyiapkan bunga dan lilin menghadap langit bertobat dan berikrar kelak tidak akan memancing lagi.

Memang sungguh aneh, sejak bertobat dan berjanji tidak akan memancing lagi, mulutnya pelan-pelan membaik dan tidak membengkak, dalam waktu seminggu sudah sembuh total. Maka dari itu anggota klub memancing terus berkurang, sedangkan Liu Cia Chun sendiri juga sudah lama sekali tidak memancing.

Keluarga Kera

Pada sebuah yayasan Fu Lik di Thailand terdaftar sebuah keluarga yang membutuhkan bantuan dalam jangka panjang, disebut dengan keluarga kera. Mereka tinggal di Thailand Selatan Sulathani, dan laporan ini ditulis oleh biksu Phai Chiu Ta Se, kepala vihara yang bertempat tinggal berdekatan dengan keluarga kera tersebut.

Ada satu tim dari yayasan yang bertugas untuk memeriksa setiap laporan yang masuk. Di Thailand ada 76 provinsi, tidak peduli dekat atau jauh, begitu mendapatkan laporan, paling lambat 1 minggu harus memberikan laporan akurat, dan setelah itu baru memberi bantuan. Beberapa tahun ini yang memohon bantuan makin lama makin banyak, kali ini saya ditugaskan ke Sulathani untuk memeriksa keluarga kera tersebut.

Keluarga kera ini terdiri dari seorang ibu yang telah menjanda bernama Niang Lien berusia 47 tahun, bekerja sebagai pemotong rumput di sawah dan harus merawat serta menjaga anak. Anak tertuanya adalah seorang perempuan yang berumur 20 tahun, namun saat berumur 10 tahun tiba-tiba matanya menjadi buta, maka sejak saat itu melalui hari-hari tanpa cahaya sedikitpun.

Ia juga memiliki 3 anak laki-laki, yang berumur 19, 17 dan 15 tahun. Tiga anak ini begitu lahir sudah seperti kera, tidak suka memakai baju, dan sering memanjat pohon mengambil buah-buahan untuk makanan sehari-hari, tidak suka makan nasi, semuanya hanya bisa mengucapkan…in.. in .. ya..ya..sama sekali tidak bisa bicara layaknya manusia normal, dan tidak bisa mengurus diri sendiri. Ketiga putranya yang sudah berumur lebih dari 10 tahun itu masih tetap dimandikan dan disuapi ibunya. Satu keluarga 5 orang itu bergantung sekali dengan vihara yang terletak di sebelah rumahnya.

Sang ibu karena harus memotong rumput di sawah jadi tidak bisa pergi jauh-jauh, karena dia harus menjaga 4 anaknya. Walaupun putrinya buta, namun masih bisa merawat diri sendiri. Sedangkan ketiga putranya idiot seperti kera, namun sang ibu tetap menyayanginya dan menjaga dengan penuh kasih sayang. Setiap bulan hanya bekerja tidak lebih dari 10 hari, karena harus tinggal di rumah untuk merawat dan menjaga anak-anaknya, dan melewati hari kadang lapar kadang kenyang.

Lokasi vihara sangat jauh dari kota, sehingga jarang ada orang yang datang memberi sumbangan dan di vihara tersebut hanya ada 3 orang biksu, setiap pagi harus menempuh perjalanan yang jauh baru bisa mendapatkan dana makanan. Kadang mendapatkan sedekah yang banyak, maka dibagikan kepada keluarga ini, namun ketiga biksu ini juga hidup dalam lapar dan kenyang, maka kepala vihara menulis permohonan bantuan kepada yayasan untuk membantu keluarga kera.

Setelah kita membuat laporan yang jelas, lalu memotret keadaan disana, barulah kembali ke vihara dan berbincang-bincang dengan biksu kepala. Sang biksu berkata bahwa sudah mengenal keluarga kera ini 20 tahun lebih lamanya, sebelum anak-anaknya lahir sudah mengenal suami istri tersebut, mereka sebenarnya bekerja di perkebunan, dan mempunyai 30 hektar tanaman rambutan, setiap tahunnya ada pemasukan puluhan ribu Bath.

Setiap kali musim rambutan, pasti datang banyak tupai, kelelawar dan kera yang suka makan buah-buahan. Paling banyak adalah tupai dan kelelawar, dalam waktu semalam bisa menghabiskan buah-buahan di satu pohon tersebut. Dan begitu bangun pagi hanya tinggal pohon kering yang tidak ada buahnya sama sekali. Orang yang tidak tinggal di perkebunan pastilah tidak percaya akan hal ini.

Maka orang-orang perkebunan menggunakan beberapa cara, kadang lembur hingga malam dengan memakai senjata ketapel / karet, atau di pohon memasang alat, begitu angin bertiup maka alat-alat itu saling bertabrakan dan mengeluarkan suara yg mengagetkan binatang pemakan buah itu. Namun beberapa hari kemudian, tupai yang nakal dan kelelawar yang cerdik mengetahui bahwa ini adalah akal-akalan manusia saja, tidak peduli memakai alat apa, hanya bisa menakuti mereka 2 atau 3 kali saja, selanjutnya mereka sudah tidak terkena jebakan lagi.

Orang-orang di perkebunan tersebut sangatlah benci kepada kera, karena selain tidak mudah tertipu, juga mempunyai kebiasaan buruk yaitu setelah makan kenyang buah-buahan, masih mematahkan dan merusak tumbuhan yang masih kecil. Jika orang perkebunan berbuat salah sedikit pada kera, maka datanglah segerombolan kera merusak tanaman dan tumbuhan serta mencuri ayam atau bebek, akhirnya orang perkebunan pun menyerah.

Kira-kira sekitar 24 atau 25 tahun lalu, Niang Lien menikah dengan seorang pemuda yang bernama Nai Man Ye, kakek suaminya itu membagi warisan dan ia mendapatkan jatah 30 hektar perkebunan rambutan, lalu dibangunlah sebuah rumah di dekatnya. Pengantin muda ini sering menangkap kera dan dibunuh kemudian dipotong dan dimasak sebagai obat penambah tenaga, hal ini sudah menjadi kebiasaan orang di desa tersebut.

Pada suatu hari datanglah 2 ekor kera merah, satu jantan dan satu betina, masuk ke dalam kamar Nai Man Ye. Sewaktu suami istri ini tidak ada di kamar, kera yang satunya mencuri gaun wanita, sedangkan kera yg satunya membuka laci dan mengambil beberapa lembar uang dan sertifikat tanah perkebunan, lalu melompat keluar jendela.

Kebetulan saat itu Niang Lien masuk ke kamar dan sempat  melihat kenakalan kera-kera tersebut, dia sangat terkejut dan segera lari ke perkebunan menceritakan kepada suaminya dan mereka pulang ke rumah untuk melihat keadaan. Nai Man Ye menjadi sangat marah, kemudian masuk ke kamar mengambil senapan panjang, lalu melepaskan tembakan dan 2 kera yang nakal langsung jatuh tersungkur. Nai Man Ye mengangkat kera dari lantai itu dan dengan kejamnya menendang tubuh kera tersebut, kera yang sudah sekarat itu langsung menghembuskan nafasnya yang terakhir! Sejak saat itu Nai Man Ye sangat benci pada kera.

Nai Man Ye sudah mempunyai dendam yang sangat dalam pada kera-kera, maka dia menggunakan berbagai cara, menangkap kera hidup-hidup lalu dibunuhnya atau dengan menembaknya atau pula memukul dengan sekuat tenaga, tidak memberi ampun sedikitpun pada kera-kera itu. Pada awalnya menangkap kera hidup lalu tangan dan kaki kera dipotong, kemudian kera digantung di atas pohon dengan terkena sinar matahari yang terik. Kera yang malang itu sudah dipotong tangan dan kakinya merasa sangat sakit dan air mata pun mengalir terus, juga dijemur di bawah terik matahari, pelan-pelan mati mengenaskan. Nai Man Ye malah melihatnya dengan hati gembira, bahkan pernah suatu hari menangkap 2 atau 3 ekor kera dan menggunakan cara demikian membuat kera menderita.

Lalu keahlian Nai Man Ye menangkap kera tersebar kemana-mana, ada sekelompok orang ingin membeli kera hidup dengan harga tinggi, gosipnya akan dijual di Hongkong sebagai makanan bertambah tenaga pada orang-orang kaya, memakan otak kera. Sejak saat itulah Nai Man Ye berganti profesi, melepaskan kerja perkebunannya menjadi penangkap kera hidup, pemasukan uangnya pun lebih banyak daripada menanam rambutan.

Tiga tahun setelah menikah Niang Lien barulah melahirkan seorang anak perempuan, namun saat umur 10 tahun kedua matanya menjadi buta dan agak sedikit bodoh. Lalu tahun berikutnya melahirkan seorang anak laki-laki yang mirip dengan kera, seluruh tubuhnya dipenuhi oleh bulu, sampai umur 10 tahun masih belum bisa berbicara, dan tidak mau memakai baju, tidak suka makan nasi, lebih senang memanjat pohon mengambil buah-buahan untuk dimakan. Anak ke 3 dan 4 juga sama dengan seekor kera.

Nai Man Ye sangat sedih kemudian jatuh sakit, hanya terbaring di atas ranjang, menghabiskan banyak uang untuk mengobati penyakitnya, sampai menjual tanah perkebunan untuk membeli obat-obatan, akhirnya semua uang pun habis dan ia juga mengeluarkan suara seperti kera, beberapa tahun kemudian barulah meninggal dunia dengan sangat menderita. Dan masih menyisakan banyak hutang untuk istrinya Niang Lien, yang harus memikul beban dan tanggung jawab sampai saat ini.

Tuan Redaksi

Saya mempunyai seorang teman yang membuka usaha media massa khususnya koran, dia bernama Si Wu Muk dan mendapat panggilan Muk Siung, selain seorang pendiri, dia juga menjabat sebagai redaksi, wartawan, mencetak, menjual dan menerima iklan-iklan.

Usaha media masa di Thailand kebanyakan seperti itu, sehingga penerbitan koran hanya 2 kali setiap bulannya, bersamaan dengan pengumuman lotere pemerintah. Muk Siung orangnya santai, sangat suka membantu sesama, sehingga dia disukai dan dipercaya oleh masyarakat. Apalagi koran terbitan Muk Siung mendapatkan omset tertinggi di antara media massa lainnya.

Beberapa tahun yang lalu, sebuah vihara di kota tempat tinggal Muk Siung akan membangun patung Buddha yang sangat besar, sehingga dari luar kota dan dalam kota, banyak pihak yang menyumbangkan uang serta tenaga agar patung Buddha ini cepat selesai. Pada saat itu entah kerasukan setan apa, Muk Siung memfitnah dengan menulis di korannya bahwa patung yang akan dibangun vihara itu adalah sebuah patung iblis, yang dalam bahasa Thailand disebut "Re Se".

Kata Re Se ini tidak semuanya berarti iblis, namun juga bisa diartikan sangat besar yang tak bisa diukur. Iblis ada beberapa macam diantaranya iblis mara, iblis dewa, iblis yaksa / setan, dan di Thailand ada dewa penjaga pintu vihara yang disebut Re Se. Pada koran tersebut ditulis tentang vihara akan membangun sebuah patung iblis, sehingga banyak orang yang percaya ini merupakan suatu perbuatan yang sama sekali tidak menghormati Buddha.

Dia bahkan menulis, kalau patung iblis itu sudah dibangun, maka kota ini harus hati-hati karena akan mendatangkan malapetaka. Masalah ini membuat pimpinan vihara dan semua umatnya merasa redaksi koran ini memang sengaja ingin mencari masalah. Semua orang bilang Muk Siung sudah keterlaluan, entah ada dendam apa dengan pimpinan vihara, sehingga memfitnahnya dengan cara seperti ini.

Sebenarnya dalam membangun patung Buddha tersebut, pihak vihara tidak sepenuhnya meminta bantuan dana dari luar. Vihara dan redaksi koran juga tidak ada sangkut pautnya, apalagi Muk Siung dengan pimpinan vihara biasanya juga baik-baik saja, namun bukannya membantu malahan memfitnah dan mengatakan patung iblis ini adalah bencana di akhir jaman dalam agama Buddha, sehingga di dalam maupun luar kota juga sependapat dengannya.

Setiap masalah yang melebihi batas pasti akan berakibat pecah dan hancur. Pimpinan vihara, Phu Luan Ta Se adalah seorang biksu yang pelatihan dirinya cukup mendalam, pada awalnya beliau hanya tersenyum menanggapi berita ini, namun para umatnya merasa redaksi ini sudah sangat keterlaluan, berani menginjak kepala Buddha. Mereka semua memohon pimpinan vihara untuk menuntut redaksi karena telah menghina agama Buddha.

Biksu tua pergi ke pengadilan menuntut redaksi koran itu, berita ini tersebar sampai kemana-mana. Semua  orang membicarakan masalah ini bahkan ada yang sampai bertaruh siapakah pemenangnya antar biksu tua dan Muk Siung. Ada yang membela biksu tua karena mewakili Buddha dan apalagi Thailand adalah negara Buddha, sehingga hukum pasti akan berpihak ke biksu tua. Di lain pihak ada juga yang bilang kekuasaan Muk Siung sangatlah besar, selain mendapat julukan raja media, dia juga merupakan seorang pengacara, maka hukum akan memihaknya.

Sebelum mulai persidangan, berkas gugatan biksu tua diserahkan pada hakim untuk dipelajari terlebih dahulu, karena jaksa dan hakim sangat menghormati biksu tua ini, sekaligus mereka juga teman baik Muk Siung, sehingga bermaksud damai diluar sidang. Pepatah mengatakan "Kotoran anjing boleh dimakan, namun masalah jangan sekali-kali masuk persidangan". Apalagi yang satu adalah biksu luhur dan lainnya seorang yang terkenal, keduanya sangat dihormati oleh masyarakat. Namun biksu tua telah terpengaruh umatnya, sehingga hakim sudah tidak berdaya lagi, dan memulai sidang sesuai dengan hari yang ditentukan.

Muk Siung walaupun adalah seorang pengacara, namun kali ini dia menyewa seorang pengacara pemerintah yang terkenal untuk membelanya. Hari pertama sidang, banyak masyarakat yang datang untuk mendengar, satu gedung penuh sesak, bahkan ada yang menunggu di jalan.

Sang jaksa mulai dengan membaca gugatan dari biksu tua beserta semua barang bukti yang berupa guntingan klip koran, dan bertanya apa pembelaan serta penjelasan dari pihak pengacara terdakwa? Sang pengacara menerima semua gugatan dan mengatakan ini semua memang benar adanya, namun dia menjelaskan dengan kata-kata lebih sempurna seperti: Apa yang disebut dengan Re Se? Ini artinya patung Buddha yang sangat besar, bukanlah berarti iblis. Sedangkan tulisan di koran yang mengatakan bahwa kota akan tertimpa bencana, ini semua bermaksud baik, maksudnya adalah bila patung Buddha itu dibangun kurang kokoh, maka akan mudah runtuh, sehingga rakyat akan terkena musibah, hanya bermaksud agar berhati-hati membangun, tidak ada arti yang lainnya.

Dengan gaya bicaranya yang luwes, sang pengacara menjelaskan serta meyakinkan para juri, sehingga akhirnya sebuah perang pendapat yang sebenarnya akan terpecah, akhirnya menjadi tenang dan damai, tanpa sedikitpun rasa dendam. Jaksa dan hakim ingin keduanya damai, sehingga mengharuskan Muk Siung memohon maaf kepada biksu tua dihadapan sidang ini dan biksu tua dengan lapang dada mencabut gugatan. Pada mulanya mereka bersikeras, namun setelah dinasehati teman dan tokoh masyarakat lainnya, maka sidang ini ditutup sampai disini saja.

Perselisihan antara Muk Siung dan pimpinan vihara akhirnya selesai sudah, namun ada beberapa umat yang kecewa akan hasil sidang. Cerita seharusnya berhenti sampai disini, namun ada peristiwa aneh yang terjadi.

Muk Siung dan istrinya sama-sama berumur 39 tahun, dan sudah mempunyai 2 orang putra serta seorang putri. Putri kecilnya kini sudah berumur 13 tahun, sehingga mereka tidak pernah berpikir untuk mempunyai anak lagi. Namun suatu hari ada kejadian aneh, mendadak saja istrinya yang sering dipanggil dengan Muk Ta Sau itu hamil.

Melahirkan dan merawat anak adalah tanggung jawab suami istri, walaupun mereka ada sedikit terkejut bisa hamil di usianya sekarang. Namun merasa ini masih merupakan hal yang wajar. Namun terjadilah suatu hal yang aneh! Proses melahirkan Muk Ta Sau berjalan lancar dan melahirkan seorang bayi mungil yang sehat.
Hanya saja di dahinya ada 3 kerutan, alisnya berwarna merah muda panjang hingga ke telinga, wajahnya segi 4 dan mulutnya besar, sehingga sekilas dilihat seperti iblis, namun setelah dilihat dengan seksama wajahnya persis seperti iblis Re Se penjaga pintu vihara.

Bidan yang membantu melahirkan sangatlah terkejut melihat bayi ini, semua dokter dan suster datang melihat keanehan ini, semuanya tidak percaya bahwa manusia bisa melahirkan bayi seperti itu, sepertinya iblis datang menitis ke dunia, tapi tidak peduli bagaimanapun juga, semuanya adalah kenyataan yang harus diterima.

Muk Sau melahirkan anak iblis, berita ini tersebar kemana-mana, sehingga hampir ribuan orang datang ke rumahnya untuk melihat bayi itu. Banyak yang bertanya mengapa bisa begini? Setelah ditelusuri, teringat akan beberapa tahun yang lalu Muk Siung menggunakan media massa memfitnah vihara akan membangun sebuah patung iblis, mempermainkan biksu tua.

Walau masalah itu sudah lewat, namun sang iblis benar-benar telah datang untuk memenuhi permintaannya dan dilahirkan di rumahnya. Setiap hari ada serombongan orang datang untuk melihat bayi aneh, sehingga suami istri tersebut hampir gila dan cukup menderita, akhirnya mereka pindah rumah. Namun tidak lama kemudian diketahui orang lain, sehingga ada rombongan orang lagi yang datang melihat, bahkan ada juga wartawan dari siaran televisi luar negeri memohon untuk memotret bayi aneh itu.

Sang bayi mulai beranjak dewasa, mulutnya yang besar dan alisnya yang panjang memancarkan wajah iblis. Dan yang aneh lagi, biasanya bayi pertama kali akan keluar gigi depan, namun anak Muk Siung ini pertama kali yang keluar adalah gigi taringnya. Sampai disini, Muk Siung mengakui inilah hukum karma karena telah memfitnah Buddha.

Sudah beberapa kali ingin meracuni anaknya hingga mati, namun tidak sampai hati, sehingga hanya bisa pindah dan pindah rumah lagi. Akhirnya mereka mencari dokter untuk memotong gigi taring anak itu karena telah keluar bibir, namun wajahnya yang berkerut dan mulutnya yang besar tidak bisa diubah lagi.

Sup Kaldu Katak

Di Thailand utara ada satu keluarga yang membuka bisnis sup, namanya sangat terkenal hingga kemana-mana, sehingga banyak orang luar kota yang datang kesana hanya untuk mencoba sup tersebut, dan semuanya memang mengatakan sup kaldunya paling enak.

Toko tersebut setiap hari ramainya seperti pasar dan pada jam 12 siang sudah tutup. Mereka tidak mempunyai karyawan, hanya anggota keluarga sendiri yang bekerja sehingga setiap hari sangatlah sibuk.

Setiap mangkuk sup kaldu tersebut dijual seharga 10 hingga 15 bath, dan pemasukan setiap hari paling sedikit ada 6000 bath, jadi keuntungan bersih kemungkinan bisa 3000 bath lebih.

Maka dari itu dalam waktu beberapa tahun saja mereka sudah bisa membeli tanah dan membangun toko. Di belakang toko terdapat sebuah taman bunga yang luas, selesai menutup toko di siang hari, sorenya berjalan-jalan di taman sambil menikmati pemandangan yang indah.

Yang membuka toko sup kaldu ini, bosnya bermarga Lien, suami istri ini sudah berusia 60 tahun lebih, mereka tinggal bersama seorang menantu serta seorang putrinya yang masih gadis.

Sup kaldu ini terkenal karena rasanya yang tidak terlalu manis dan sangat lezat sehingga orang-orang dari segala penjura terus datang untuk menikmatinya.

Banyak orang yang mempelajarinya, namun tidak satupun yang berhasil. Menurut kondisi ekonomi di Thailand utara, sup kaldu ini setiap mangkok harganya 10 hingga 15 bath, ini sangatlah mahal, namun tidak hanya pejabat-pejabat yang makan, tetapi juga para pedagang kecil, sopir, sampai kuli pun juga datang menikmati sup kaldunyanya, sampai-sampai ada orang yang curiga kemungkinan sup kaldunya dicampur dengan ganja sehingga siapa saja yang memakannya akan ketagihan.

Karena banyak lawan bisnis, kemudian ada yang melapor ke pemerintah dengan mengatakan keluarga Lien membuat sup kaldu dicampur dengan ganja.

Ganja adalah salah satu obat terlarang, maka polisi langsung datang untuk mengecek dan setelah diperiksa ternyata sama sekali tidak ada bahan ganja sedikitpun, juga tidak ada campuran lainnya yang dilarang, semuanya murni rasa daging sesuai dengan apa yang dikatakan oleh sang pemilik toko, menggunakan tulang ayam, tulang babi, dan dengan api kecil dimasak 1 hari 1 malam, sehingga rasanya wangi dan enak,

Sesudah pemerintah mengesahkan bahwa sup kaldunya halal, nama toko tersebut lebih terkenal, dan sup kaldunya semakin laris, ada seorang ternama mencoba sup kaldunya, setelah dicoba orang itu langsung memberikan penghargaan yang digantungkan tepat di depan pintu masuk. Bos Lien memang mempunyai otak bisnis, 1 mangkok porsi kecil yang harganya semula 10 bath naik menjadi 12 bath, lalu porsi besar dari 15 bath naik lagi menjadi 20 bath.

Di dunia ini tidak ada rahasia yang selamanya, sup kaldu keluarga Lien ini akhirnya terkuak juga rahasianya. Dan yang menguak rahasia ini bukanlah orang lain namun bos Lien sendiri, ini memang kejadian yang aneh sampai menggemparkan seluruh Thailand utara.

Sebenarnya pertama kali yang mengetahui rahasia ini adalah seseorang bernama Nai Pang yang bekerja sebagai sopir, waktu itu Nai Pang minum arak sedikit waktu malam hari karena tidak ada penumpang dan tidak ada uang untuk diberikan ke istrinya sehingga dia tidak berani pulang ke rumah.

Lalu diam-diam dia masuk ke toko sup kaldu milik keluarga Lien dan bermaksud untuk mencuri sesuatu. Sewaktu dia pelan-pelan membuka pintu belakang, dia melihat seseorang duduk di bawah lampu yang remang-remang membelakangi pintu belakang, dalam keadaan cukup gelap itu masih terlihat jelas bos Lien yang lagi bekerja sepenuh hati.

Nai Pang memberanikan diri untuk maju beberapa langkah, dan melihat bos Lien dengan satu tangannya memegang pisau, dan tangan yang satunya lagi memegang seekor katak dan akan membelah perut katak tersebut, di sebelah kiri bos Lien terdapat sebuah ember yang pada atasnya dipasang jala, ini untuk menghindari katak-katak meloncat keluar, sedangkan di sebelah kanan bos Lien juga terdapat ember yang berisi penuh mayat-mayat katak yang telah disembelih perutnya, dan dari perut katak diambil usus-usus dan jantungnya lalu ditaruh ke kantong plastik.

Bos Lien yang membelakangi Nai Pang tiba-tiba membalikkan badannya, Nai Pang cepat-cepat menunduk, untung keadaannya cukup gelap, sehingga tidak terlihat oleh bos Lien, Bos Lien walaupun tidak melihat Nai Pang, namun Nai Pang melihat jelas wajah bos Lien, pada waktu itu Nai Pang terkejutnya bukan main, karena sewaktu bos Lien membalikkan badannya, yang dilihat Nai Pang bukanlah wajah manusia namun adalah wajah katak, mulut yang moncong, kedua matanya terbelalak keluar, dan daging matanya juga keluar, dan ada suara krok..krok..., lalu tiba-tiba menjulurkan lidahnya keluar dan melipat masuk persis seperti seekor katak yang lagi melahap nyamuk.

Nai Pang sudah hampir berteriak, dan ingin langsung lari, namun kedua kakinya menjadi kaku dan tidak mau menuruti kehendaknya, dengan susah payah, barulah bisa merangkak keluar, dan pada malam itu juga dia demam. Setelah sakit beberapa hari, barulah kondisinya agak membaik dan Nai Pang bercerita pada keluarganya apa yang telah dia lihat, karena Nai Pang punya kebiasaan minum arak, jadi tidak ada orang yang mau percaya pada kata-katanya.

Bagi masyarakat Thailand utara, makan katak atau tikus sudah menjadi hal yang biasa dan tidaklah aneh.

Dan yang aneh adalah Bos Lien sudah beberapa bulan ini tidak nampak, karena biasanya bos Lien suka duduk di depan toko sambil memotong daging ayam.

Kata keluarganya, bos Lien jatuh sakit dan masuk rumah sakit, entah sejak kapan masuk rumah sakitnya juga tidak ada yang tahu.

Walaupun ada orang yang sempat melihatnya, itupun hanya sekilas karena bos Lien seperti langsung menghilang begitu saja. Saat ini bos Lien jarang keluar dari toko, ada orang yang sempat melihatnya berkata, "Wajah bos Lien menjadi buruk, di wajahnya timbul benjolan daging sama persis dengan benjolan daging di wajah katak, dan mulutnya lebih moncong lagi, matanya yang bulat-bulat juga mencuat keluar, makin dilihat makin persis dengan seekor katak besar."

Pada saat itu, barulah mereka percaya akan cerita Nai Pang, dan ada orang lain juga yang mengintip untuk membuktikan kebenarannya. Mereka mengetahui bahwa sup kaldu yang enak dan nikmat itu ternyata sup katak, tak heran jika sangat manis.

Bos Lien takut rahasia ini bocor, maka tidak berani memakai karyawan dan juga tidak ingin dibantu oleh siapapun juga, maka dia sendiri yang turun tangan untuk membelah perut katak, entah sudah berapa banyak katak yang telah dibunuhnya? Pada awalnya anggota keluarga belum menyadari kalau wajah bos Lien mulai berubah, namun begitu menyadarinya, sudah terlambat wajah bos Lien benar-benar telah menjadi wajah katak!

Pada akhirnya keluarga Lien pindah entah kemana, hanya meninggalkan cerita sup katak, dan menjadi bahan pembicaraan orang sampai sekarang.

Seekor Penyu Dimakan Berangsur

Adik sepupu saya menjabat sebagai kepala dokter di rumah sakit pemerintah, ada sekali saya mengunjunginya dan dia bercerita tentang keadaan seorang pasien yang kisahnya dapat menasehati manusia agar berjalan di jalur yang benar.

Rumah sakit tempat adik sepupu saya bekerja itu termasuk rumah sakit kalangan menengah keatas, sehingga pasiennya tidak banyak dan hanya terdiri dari pasien yang kaya atau yang penyakitnya sudah berat. Maka dari itu selain sebagai kepala dokter, dia juga merangkap dokter umum yang harus bisa menguasai ilmu bedah.

Adik sepupuku berkata, "Sejak saya menjabat sebagai dokter, baru pertama kali saya menemui pasien yang aneh. Orang ini dalam 3 tahun setelah menjalani 5 kali operasi, keadaannya bukan membaik tetapi semakin lama malah tambah parah, yang terakhir 1 tangan dan 1 kakinya harus diamputasi, sehingga sekarang sudah menjadi cacat".

Pasien ini bernama Wen Lai, suatu kali jari kelingking tangannya digigit oleh seekor penyu, Pada awalnya datang ke rumah sakit hanya diberi obat penahan sakit, karena berpikir akan baik-baik saja. Namun sesudah lewat 3 hari, jari kelingkingnya mulai infeksi, bengkak dan sakit. Setelah diperiksa, dokter memastikan bahwa racun bakteri sudah memasuki persendian tulang, sehingga jari kelingkingnya harus diamputasi, untuk menghindar penyebaran racun bakteri yang bisa membahayakan jiwa. Maka jarinya dipotong dan hanya tinggal 9 jari.

Tidak sampai setengah tahun kemudian, Wen Lai pergi ke pantai bertamasya, dan sungguh sangat kebetulan,jari kelingking kaki Wen Lai digigit lagi oleh penyu. Setelah lewat beberapa hari, mulai membengkak dan infeksi, maka dia datang ke rumah sakit untuk diperiksa dan diketahui bahwa racun bakteri juga sudah masuk ke persendian tulang, sehingga jari kelingkingnya itupun harus diamputasi lagi.

Lalu belum sampai 1 tahun kemudian, 2 tempat bekas amputasi itu bersamaan membengkak dan infeksi, lalu dibawa lagi kerumah sakit untuk diperiksa. Wah gawat...! Ternyata di dalam persendian tulangnya sudah terdapat racun bakteri dan merupakan gejala kanker, sehingga telapak tangan dan kaki harus diamputasi juga. Seusai operasi, dia tinggal di rumah sakit selama 20 hari lamanya dan akhirnya menjadi seorang yang cacat tanpa telapak tangan serta telapak kaki.

Nasib yang dialami Wen Lai memang teramat aneh, namun tidak lama kemudian terjadi lagi hal yang tidak masuk akal. Ternyata ada suatu hari anak dari saudaranya akan menjadi biksu, maka Wen Lai dan teman-temannya datang melihat dan pada malam harinya mereka semua menginap di vihara. Yang menginap disana ternyata sangat banyak, sekitar 40 hingga 50 orang tidur bersama di ruang utama vihara, namun nasib sial selalu datang pada diri Wen Lai.

Di antara 50 orang yang sedang tertidur lelap bersama, hanya Wen Lai saja yang tiba-tiba tersentak terbangun, dan ternyata ada seekor tikus yang menggerogoti kaki bekas amputasi itu. Walaupun hanya kena gigit sedikit saja, namun darah yang mengalir keluar cukuplah banyak. Sehingga semua yang ada di situ mulai membicarakan masalah ini dan mengatakan bahwa tikus sebenarnya hanya menggigit barang yang tidak bernyawa, namun kalau ada orang yang kebetulan digigit oleh tikus, maka membuktikan bahwa orang itu hanyalah sebuah mayat saja bagi tikus itu.

Perkataan itu membuat Wen Lai ketakutan dan merasa bahwa hidupnya mungkin tidak akan lama lagi. Walaupun ada orang yang menghiburnya agar jangan terlalu percaya hal seperti ini, namun Wen Lai tetap merasakan nyawanya terancam. Karena hatinya yang tidak tenang itu, maka kaki dan tangan bekas amputasi itu mulai terasa sakit serta gatal-gatal. Lalu karena tidak tahan akan tekanan batin dan juga sakitnya yang bertambah parah, maka dia datang ke rumah sakit lagi untuk diperiksa.

Dokter dengan teliti memeriksanya dan benar-benar gawat ! Ternyata kaki dan tangan bekas amputasi itu terdapat racun bakteri yang juga sudah masuk ke persendian tulang. Sehingga sama dengan yang pertama kali, karena dikhawatirkan akan menyebabkan kanker, maka lengan dan kaki pahanya harus diamputasi juga. Selama 3 tahun sudah 5 kali dioperasi, hal ini membuat adik sepupu mengumpulkan data-data Wen Lai.

Wen Lai adalah seorang petani berumur 43 tahun, yang juga memliki pekerjaan tambahan sebagai kuli bangunan. Dia mempunyai kebiasaan minum bir dan sangat suka makan ikan tawar apalagi kura-kura atau penyu. Wen Lai mendengar banyak orang yang mengatakan bahwa bila semasa hidup bisa makan 10 hingga 20 ekor penyu maka selama hidupnya tidak akan kena sakit dipersendian tulang atau terkena rematik dan bisa dijadikan obat kuat penambah hormon.

Pada suatu hari, Wen Lai membeli seekor penyu yang besar di pasar dan dia sangatlah gembira. Makanan yang berharga ini bila langsung dimakan habis rasanya sangat sayang, apalagi bila dimakan seorang diri juga tidak bisa habis dan di rumah juga tidak ada lemari es, setelah dipikir-pikir, akhirnya dia mendapatkan 1 cara yang jitu yaitu penyu dimakan secara berangsur.

Penyu merupakan hewan yang paling panjang umur dan tahan lama, sehingga tidak peduli dimana kita mengurungnya, sampai 1 tahun juga masih bisa bertahan hidupnya, cara makan Wen Lai adalah hari ini mau makan berapa potong daging, maka dia baru potong berapa bagian tubuh penyu sesuai kebutuhan hari itu kemudian luka bekas potongan itu dibubuhi abu. Dengan demikian 1 penyu bisa dimakan secara berangsur selama 10 hari hingga setengah bulan lamanya, karena penyu masih hidup dan disaat memotong kepalanya barulah mati.

Wen Lai memakan secara berangsur ini, entah sudah berapa banyak penyu yang menjadi korbannya. Sudah banyak orang yang menasehatinya agar berhenti, karena cara seperti itu sangatlah kejam dan tidak ada hati nurani. Namun dia tidak peduli, hanya memikirkan akan nikmatnya daging penyu sehingga akhirnya harus menerima balasan hukum karma yaitu badannya diamputasi beberapa kali.