Minggu, 19 April 2015

Keluarga Kera

Pada sebuah yayasan Fu Lik di Thailand terdaftar sebuah keluarga yang membutuhkan bantuan dalam jangka panjang, disebut dengan keluarga kera. Mereka tinggal di Thailand Selatan Sulathani, dan laporan ini ditulis oleh biksu Phai Chiu Ta Se, kepala vihara yang bertempat tinggal berdekatan dengan keluarga kera tersebut.

Ada satu tim dari yayasan yang bertugas untuk memeriksa setiap laporan yang masuk. Di Thailand ada 76 provinsi, tidak peduli dekat atau jauh, begitu mendapatkan laporan, paling lambat 1 minggu harus memberikan laporan akurat, dan setelah itu baru memberi bantuan. Beberapa tahun ini yang memohon bantuan makin lama makin banyak, kali ini saya ditugaskan ke Sulathani untuk memeriksa keluarga kera tersebut.

Keluarga kera ini terdiri dari seorang ibu yang telah menjanda bernama Niang Lien berusia 47 tahun, bekerja sebagai pemotong rumput di sawah dan harus merawat serta menjaga anak. Anak tertuanya adalah seorang perempuan yang berumur 20 tahun, namun saat berumur 10 tahun tiba-tiba matanya menjadi buta, maka sejak saat itu melalui hari-hari tanpa cahaya sedikitpun.

Ia juga memiliki 3 anak laki-laki, yang berumur 19, 17 dan 15 tahun. Tiga anak ini begitu lahir sudah seperti kera, tidak suka memakai baju, dan sering memanjat pohon mengambil buah-buahan untuk makanan sehari-hari, tidak suka makan nasi, semuanya hanya bisa mengucapkan…in.. in .. ya..ya..sama sekali tidak bisa bicara layaknya manusia normal, dan tidak bisa mengurus diri sendiri. Ketiga putranya yang sudah berumur lebih dari 10 tahun itu masih tetap dimandikan dan disuapi ibunya. Satu keluarga 5 orang itu bergantung sekali dengan vihara yang terletak di sebelah rumahnya.

Sang ibu karena harus memotong rumput di sawah jadi tidak bisa pergi jauh-jauh, karena dia harus menjaga 4 anaknya. Walaupun putrinya buta, namun masih bisa merawat diri sendiri. Sedangkan ketiga putranya idiot seperti kera, namun sang ibu tetap menyayanginya dan menjaga dengan penuh kasih sayang. Setiap bulan hanya bekerja tidak lebih dari 10 hari, karena harus tinggal di rumah untuk merawat dan menjaga anak-anaknya, dan melewati hari kadang lapar kadang kenyang.

Lokasi vihara sangat jauh dari kota, sehingga jarang ada orang yang datang memberi sumbangan dan di vihara tersebut hanya ada 3 orang biksu, setiap pagi harus menempuh perjalanan yang jauh baru bisa mendapatkan dana makanan. Kadang mendapatkan sedekah yang banyak, maka dibagikan kepada keluarga ini, namun ketiga biksu ini juga hidup dalam lapar dan kenyang, maka kepala vihara menulis permohonan bantuan kepada yayasan untuk membantu keluarga kera.

Setelah kita membuat laporan yang jelas, lalu memotret keadaan disana, barulah kembali ke vihara dan berbincang-bincang dengan biksu kepala. Sang biksu berkata bahwa sudah mengenal keluarga kera ini 20 tahun lebih lamanya, sebelum anak-anaknya lahir sudah mengenal suami istri tersebut, mereka sebenarnya bekerja di perkebunan, dan mempunyai 30 hektar tanaman rambutan, setiap tahunnya ada pemasukan puluhan ribu Bath.

Setiap kali musim rambutan, pasti datang banyak tupai, kelelawar dan kera yang suka makan buah-buahan. Paling banyak adalah tupai dan kelelawar, dalam waktu semalam bisa menghabiskan buah-buahan di satu pohon tersebut. Dan begitu bangun pagi hanya tinggal pohon kering yang tidak ada buahnya sama sekali. Orang yang tidak tinggal di perkebunan pastilah tidak percaya akan hal ini.

Maka orang-orang perkebunan menggunakan beberapa cara, kadang lembur hingga malam dengan memakai senjata ketapel / karet, atau di pohon memasang alat, begitu angin bertiup maka alat-alat itu saling bertabrakan dan mengeluarkan suara yg mengagetkan binatang pemakan buah itu. Namun beberapa hari kemudian, tupai yang nakal dan kelelawar yang cerdik mengetahui bahwa ini adalah akal-akalan manusia saja, tidak peduli memakai alat apa, hanya bisa menakuti mereka 2 atau 3 kali saja, selanjutnya mereka sudah tidak terkena jebakan lagi.

Orang-orang di perkebunan tersebut sangatlah benci kepada kera, karena selain tidak mudah tertipu, juga mempunyai kebiasaan buruk yaitu setelah makan kenyang buah-buahan, masih mematahkan dan merusak tumbuhan yang masih kecil. Jika orang perkebunan berbuat salah sedikit pada kera, maka datanglah segerombolan kera merusak tanaman dan tumbuhan serta mencuri ayam atau bebek, akhirnya orang perkebunan pun menyerah.

Kira-kira sekitar 24 atau 25 tahun lalu, Niang Lien menikah dengan seorang pemuda yang bernama Nai Man Ye, kakek suaminya itu membagi warisan dan ia mendapatkan jatah 30 hektar perkebunan rambutan, lalu dibangunlah sebuah rumah di dekatnya. Pengantin muda ini sering menangkap kera dan dibunuh kemudian dipotong dan dimasak sebagai obat penambah tenaga, hal ini sudah menjadi kebiasaan orang di desa tersebut.

Pada suatu hari datanglah 2 ekor kera merah, satu jantan dan satu betina, masuk ke dalam kamar Nai Man Ye. Sewaktu suami istri ini tidak ada di kamar, kera yang satunya mencuri gaun wanita, sedangkan kera yg satunya membuka laci dan mengambil beberapa lembar uang dan sertifikat tanah perkebunan, lalu melompat keluar jendela.

Kebetulan saat itu Niang Lien masuk ke kamar dan sempat  melihat kenakalan kera-kera tersebut, dia sangat terkejut dan segera lari ke perkebunan menceritakan kepada suaminya dan mereka pulang ke rumah untuk melihat keadaan. Nai Man Ye menjadi sangat marah, kemudian masuk ke kamar mengambil senapan panjang, lalu melepaskan tembakan dan 2 kera yang nakal langsung jatuh tersungkur. Nai Man Ye mengangkat kera dari lantai itu dan dengan kejamnya menendang tubuh kera tersebut, kera yang sudah sekarat itu langsung menghembuskan nafasnya yang terakhir! Sejak saat itu Nai Man Ye sangat benci pada kera.

Nai Man Ye sudah mempunyai dendam yang sangat dalam pada kera-kera, maka dia menggunakan berbagai cara, menangkap kera hidup-hidup lalu dibunuhnya atau dengan menembaknya atau pula memukul dengan sekuat tenaga, tidak memberi ampun sedikitpun pada kera-kera itu. Pada awalnya menangkap kera hidup lalu tangan dan kaki kera dipotong, kemudian kera digantung di atas pohon dengan terkena sinar matahari yang terik. Kera yang malang itu sudah dipotong tangan dan kakinya merasa sangat sakit dan air mata pun mengalir terus, juga dijemur di bawah terik matahari, pelan-pelan mati mengenaskan. Nai Man Ye malah melihatnya dengan hati gembira, bahkan pernah suatu hari menangkap 2 atau 3 ekor kera dan menggunakan cara demikian membuat kera menderita.

Lalu keahlian Nai Man Ye menangkap kera tersebar kemana-mana, ada sekelompok orang ingin membeli kera hidup dengan harga tinggi, gosipnya akan dijual di Hongkong sebagai makanan bertambah tenaga pada orang-orang kaya, memakan otak kera. Sejak saat itulah Nai Man Ye berganti profesi, melepaskan kerja perkebunannya menjadi penangkap kera hidup, pemasukan uangnya pun lebih banyak daripada menanam rambutan.

Tiga tahun setelah menikah Niang Lien barulah melahirkan seorang anak perempuan, namun saat umur 10 tahun kedua matanya menjadi buta dan agak sedikit bodoh. Lalu tahun berikutnya melahirkan seorang anak laki-laki yang mirip dengan kera, seluruh tubuhnya dipenuhi oleh bulu, sampai umur 10 tahun masih belum bisa berbicara, dan tidak mau memakai baju, tidak suka makan nasi, lebih senang memanjat pohon mengambil buah-buahan untuk dimakan. Anak ke 3 dan 4 juga sama dengan seekor kera.

Nai Man Ye sangat sedih kemudian jatuh sakit, hanya terbaring di atas ranjang, menghabiskan banyak uang untuk mengobati penyakitnya, sampai menjual tanah perkebunan untuk membeli obat-obatan, akhirnya semua uang pun habis dan ia juga mengeluarkan suara seperti kera, beberapa tahun kemudian barulah meninggal dunia dengan sangat menderita. Dan masih menyisakan banyak hutang untuk istrinya Niang Lien, yang harus memikul beban dan tanggung jawab sampai saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar