Pada sebuah yayasan Fu Lik di Thailand terdaftar sebuah keluarga yang
membutuhkan bantuan dalam jangka panjang, disebut dengan keluarga kera. Mereka
tinggal di Thailand Selatan Sulathani, dan laporan ini ditulis oleh biksu Phai
Chiu Ta Se, kepala vihara yang bertempat tinggal berdekatan dengan keluarga
kera tersebut.
Ada satu tim dari yayasan yang bertugas untuk memeriksa setiap laporan yang
masuk. Di Thailand ada 76 provinsi, tidak peduli dekat atau jauh, begitu
mendapatkan laporan, paling lambat 1 minggu harus memberikan laporan akurat,
dan setelah itu baru memberi bantuan. Beberapa tahun ini yang memohon bantuan
makin lama makin banyak, kali ini saya ditugaskan ke Sulathani untuk memeriksa
keluarga kera tersebut.
Keluarga kera ini terdiri dari seorang ibu yang telah menjanda bernama Niang
Lien berusia 47 tahun, bekerja sebagai pemotong rumput di sawah dan harus
merawat serta menjaga anak. Anak tertuanya adalah seorang perempuan yang
berumur 20 tahun, namun saat berumur 10 tahun tiba-tiba matanya menjadi buta,
maka sejak saat itu melalui hari-hari tanpa cahaya sedikitpun.
Ia juga memiliki 3 anak laki-laki, yang berumur 19, 17 dan 15 tahun. Tiga anak
ini begitu lahir sudah seperti kera, tidak suka memakai baju, dan sering
memanjat pohon mengambil buah-buahan untuk makanan sehari-hari, tidak suka
makan nasi, semuanya hanya bisa mengucapkan…in.. in .. ya..ya..sama sekali
tidak bisa bicara layaknya manusia normal, dan tidak bisa mengurus diri
sendiri. Ketiga putranya yang sudah berumur lebih dari 10 tahun itu masih tetap
dimandikan dan disuapi ibunya. Satu keluarga 5 orang itu bergantung sekali
dengan vihara yang terletak di sebelah rumahnya.
Sang ibu karena harus memotong rumput di sawah jadi tidak bisa pergi jauh-jauh,
karena dia harus menjaga 4 anaknya. Walaupun putrinya buta, namun masih bisa
merawat diri sendiri. Sedangkan ketiga putranya idiot seperti kera, namun sang
ibu tetap menyayanginya dan menjaga dengan penuh kasih sayang. Setiap bulan
hanya bekerja tidak lebih dari 10 hari, karena harus tinggal di rumah untuk
merawat dan menjaga anak-anaknya, dan melewati hari kadang lapar kadang
kenyang.
Lokasi vihara sangat jauh dari kota, sehingga jarang ada orang yang datang
memberi sumbangan dan di vihara tersebut hanya ada 3 orang biksu, setiap pagi
harus menempuh perjalanan yang jauh baru bisa mendapatkan dana makanan. Kadang
mendapatkan sedekah yang banyak, maka dibagikan kepada keluarga ini, namun
ketiga biksu ini juga hidup dalam lapar dan kenyang, maka kepala vihara menulis
permohonan bantuan kepada yayasan untuk membantu keluarga kera.
Setelah kita membuat laporan yang jelas, lalu memotret keadaan disana, barulah
kembali ke vihara dan berbincang-bincang dengan biksu kepala. Sang biksu
berkata bahwa sudah mengenal keluarga kera ini 20 tahun lebih lamanya, sebelum
anak-anaknya lahir sudah mengenal suami istri tersebut, mereka sebenarnya
bekerja di perkebunan, dan mempunyai 30 hektar tanaman rambutan, setiap
tahunnya ada pemasukan puluhan ribu Bath.
Setiap kali musim rambutan, pasti datang banyak tupai, kelelawar dan kera yang
suka makan buah-buahan. Paling banyak adalah tupai dan kelelawar, dalam waktu
semalam bisa menghabiskan buah-buahan di satu pohon tersebut. Dan begitu bangun
pagi hanya tinggal pohon kering yang tidak ada buahnya sama sekali. Orang yang
tidak tinggal di perkebunan pastilah tidak percaya akan hal ini.
Maka orang-orang perkebunan menggunakan beberapa cara, kadang lembur hingga
malam dengan memakai senjata ketapel / karet, atau di pohon memasang alat,
begitu angin bertiup maka alat-alat itu saling bertabrakan dan mengeluarkan
suara yg mengagetkan binatang pemakan buah itu. Namun beberapa hari kemudian,
tupai yang nakal dan kelelawar yang cerdik mengetahui bahwa ini adalah
akal-akalan manusia saja, tidak peduli memakai alat apa, hanya bisa menakuti
mereka 2 atau 3 kali saja, selanjutnya mereka sudah tidak terkena jebakan lagi.
Orang-orang di perkebunan tersebut sangatlah benci kepada kera, karena selain
tidak mudah tertipu, juga mempunyai kebiasaan buruk yaitu setelah makan kenyang
buah-buahan, masih mematahkan dan merusak tumbuhan yang masih kecil. Jika orang
perkebunan berbuat salah sedikit pada kera, maka datanglah segerombolan kera
merusak tanaman dan tumbuhan serta mencuri ayam atau bebek, akhirnya orang
perkebunan pun menyerah.
Kira-kira sekitar 24 atau 25 tahun lalu, Niang Lien menikah dengan seorang
pemuda yang bernama Nai Man Ye, kakek suaminya itu membagi warisan dan ia
mendapatkan jatah 30 hektar perkebunan rambutan, lalu dibangunlah sebuah rumah
di dekatnya. Pengantin muda ini sering menangkap kera dan dibunuh kemudian
dipotong dan dimasak sebagai obat penambah tenaga, hal ini sudah menjadi
kebiasaan orang di desa tersebut.
Pada suatu hari datanglah 2 ekor kera merah, satu jantan dan satu betina, masuk
ke dalam kamar Nai Man Ye. Sewaktu suami istri ini tidak ada di kamar, kera
yang satunya mencuri gaun wanita, sedangkan kera yg satunya membuka laci dan
mengambil beberapa lembar uang dan sertifikat tanah perkebunan, lalu melompat
keluar jendela.
Kebetulan saat itu Niang Lien masuk ke kamar dan sempat melihat kenakalan
kera-kera tersebut, dia sangat terkejut dan segera lari ke perkebunan
menceritakan kepada suaminya dan mereka pulang ke rumah untuk melihat keadaan.
Nai Man Ye menjadi sangat marah, kemudian masuk ke kamar mengambil senapan
panjang, lalu melepaskan tembakan dan 2 kera yang nakal langsung jatuh
tersungkur. Nai Man Ye mengangkat kera dari lantai itu dan dengan kejamnya
menendang tubuh kera tersebut, kera yang sudah sekarat itu langsung
menghembuskan nafasnya yang terakhir! Sejak saat itu Nai Man Ye sangat benci
pada kera.
Nai Man Ye sudah mempunyai dendam yang sangat dalam pada kera-kera, maka dia
menggunakan berbagai cara, menangkap kera hidup-hidup lalu dibunuhnya atau
dengan menembaknya atau pula memukul dengan sekuat tenaga, tidak memberi ampun
sedikitpun pada kera-kera itu. Pada awalnya menangkap kera hidup lalu tangan
dan kaki kera dipotong, kemudian kera digantung di atas pohon dengan terkena
sinar matahari yang terik. Kera yang malang itu sudah dipotong tangan dan
kakinya merasa sangat sakit dan air mata pun mengalir terus, juga dijemur di
bawah terik matahari, pelan-pelan mati mengenaskan. Nai Man Ye malah melihatnya
dengan hati gembira, bahkan pernah suatu hari menangkap 2 atau 3 ekor kera dan
menggunakan cara demikian membuat kera menderita.
Lalu keahlian Nai Man Ye menangkap kera tersebar kemana-mana, ada sekelompok
orang ingin membeli kera hidup dengan harga tinggi, gosipnya akan dijual di
Hongkong sebagai makanan bertambah tenaga pada orang-orang kaya, memakan otak
kera. Sejak saat itulah Nai Man Ye berganti profesi, melepaskan kerja
perkebunannya menjadi penangkap kera hidup, pemasukan uangnya pun lebih banyak
daripada menanam rambutan.
Tiga tahun setelah menikah Niang Lien barulah melahirkan seorang anak
perempuan, namun saat umur 10 tahun kedua matanya menjadi buta dan agak sedikit
bodoh. Lalu tahun berikutnya melahirkan seorang anak laki-laki yang mirip
dengan kera, seluruh tubuhnya dipenuhi oleh bulu, sampai umur 10 tahun masih
belum bisa berbicara, dan tidak mau memakai baju, tidak suka makan nasi, lebih
senang memanjat pohon mengambil buah-buahan untuk dimakan. Anak ke 3 dan 4 juga
sama dengan seekor kera.
Nai Man Ye sangat sedih kemudian jatuh sakit, hanya terbaring di atas ranjang,
menghabiskan banyak uang untuk mengobati penyakitnya, sampai menjual tanah
perkebunan untuk membeli obat-obatan, akhirnya semua uang pun habis dan ia juga
mengeluarkan suara seperti kera, beberapa tahun kemudian barulah meninggal
dunia dengan sangat menderita. Dan masih menyisakan banyak hutang untuk
istrinya Niang Lien, yang harus memikul beban dan tanggung jawab sampai saat
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar