Minggu, 19 April 2015

Bakmi Tuyul

Di kota Chen Tung, Taiwan. pada satu jalan yang dekat sebuah sungai besar, ada 5 restoran yang menjual bakmi daging sapi. Di antara ke 5 restoran tersebut, terdapat satu restoran yang sangat laris, dikunjungi banyak pelanggan yang bahkan bersedia mengantri. Antrian para pelanggan sampai membentuk sebuah barisan dari satu ujung jalan hingga ujung jalan lainnya. Sedangkan ke 4 restoran lainnya jarang dikunjungi tamu, paling hanya dua atau tiga orang saja. Sungguh fenomena yang aneh.

Komentar para pelanggan tentang restoran tersebut antara lain:
“Resepnya sangat bagus."
"Kualitasnya unggul. Harganya pantas." Sebenarnya ke 5 restoran memasang harga yang hampir sama.
"Rebusan daging sapinya sangat enak. Cara mengolahnya khusus."
"Tidak sama, yang ini benar-benar spesial."
"Pakai resep rahasia."

Saya pribadi datang untuk melihat sendiri betapa panjang antriannya. Kapan pun sama saja. Orang-orang berbaris dengan tenang, tidak sudi pergi ke restoran yang lain. Apa boleh buat. Saya sendiri menyerah.Tujuan saya makan bakmi disana adalah untuk menganalisa hongshui, untuk menyelidiki mengapa hanya satu restoran yang laris sedangkan restoran lainnya sepi.

Saat mengantri, saya mendengar dialog bisik-bisik para pelanggan: "Kau datang lagi."
"Hmm.. Saya bahkan setiap hari datang kesini. Kenapa kau juga datang?"
"Makanan di restoran ini lebih sedap dari pada ke 4 restoran lainnya."
"Membuka satu restoran yang ramai begini, keuntungannya tak habis diraup."
"Dari kesuksesan satu restoran kecil ini saja, bosnya bisa membangun sebuah bisnis properti."
"Wah. Benarkah?" Bola mata orang itu hampir copot.
"Tentu saja benar."

Antrian perlahan-lahan bergerak. Tidak ada orang yang merasa kesal karena mengantri terlalu lama. Semua menunggu dengan sabar. Setelah antrian saya mendekati restoran, saya mulai memperhatikan "seluk beluk hongshui" restoran itu, namun tidak menemukan sesuatu yang istimewa. Ruangan di dalam restoran tidak luas. Hanya ada sekitar 9 meja persegi empat dan 2 meja bundar. Meja persegi empat bisa ditempati 2 orang. Meja bundar bisa ditempati sekitar 5 stau 6 orang. Semua kursi kecil yang berbentuk bundar terpakai. Situasi terlihat sangat ramai. Kuah daging sapi terlihat masih panas. Orang orang sedang makan dengan asyiknya.

Di dalam restoran, ada 4 pekerja. 2 orang bertugas mengantar bakmi. Salah satu diantaranya seperti idiot, terlihat dari wajah dan caranya berjalan. Orang ke tiga bertugas mencatat pesanan. Sebenarnya sangat mudah mencatat pesanan karena menu hanya terbagi menjadi porsi besar, porsi sedang, dan porsi kecil. Orang ke empat berdiri di meja kasir untuk menerima uang.

Tidak ada petugas yang menyambut para tamu. Jika tiba gilirannya masuk, begitu melihat ada kursi kosong, silahkan langsung duduk. Pekerja restoran akan merapihkan mangkok dan sumpit bekas, lap meja, menerima pesanan, menghidangkan bakmi, selesai. Kalau ada 5 orang yang mau duduk dalam satu meja, pekerja restoran akan meminta tamu yang datang sendirian untuk pindah tempat duduk. Tidak ada pertengkaran karena persoalan tempat duduk. Di dapur, hitam dan gelap, tidak terlihat bagian dalamnya.

Saya melihat di atas meja kasir ada sebuah altar dewa. Disana terlihat sebuah hiolou (tempat dupa). Di belakang hiolou diletakkan sebongkah batu. Di atas batu dituliskan kata-kata yang tidak terlihat jelas oleh saya. Di kiri dan kanannya diletakkan barang perhiasan dari ukiran kayu. Altar ini terlihat biasa saja, sama sekali tidak aneh.

Restoran itu memiliki 3 pintu, satu pintu besar tempat keluar masuknya para tamu, satu pintu tembus ke ruang dapur, satu pintu lagi adalah toilet. Hidangan bakmi yang saya pesan sudah datang, hanya seporsi kecil. Saya makan bakminya dan minum kuahnya, ingin menganalisa apakah sebab musabab larisnya usaha ini karena kelezatan makanannya. Saya meneliti aroma daging sapi, tingkat kelezatan kuah, dan kwalitas bahan bakminya.

Meski memang lumayan lezatnya, saya beranggapan kwalitasnya tidak jauh berbeda dengan tingkat kelezatan bakmi di restoran lainnya yang pernah saya tes. Dalam hati saya berkata, "Laris sekedar reputasi". Selesai makan, saya berjalan keluar dari pintu restoran, masih tidak mengerti alasan larisnya restoran ini.

Tiba-tiba punggung saya terdorong sebentar. Begitu saya menolehkan kepala, saya terperanjat. Restoran mie sudah lenyap. Yang terlihat adalah sebuah taman kecil yang sangat sejuk. Juga, ada sebuah kolam kecil. Di tepi kolam, ada pohon willow yang berjuntai, beberapa tanaman bunga. Di atas tanaman bunga, ada kupu-kupu yang sedang terbang menari.

Di kolam kecil, ada sebatang cemara besar. Disitu, tergantung sebuah ayunan. Banyak anak kecil sedang bermain ayunan, berayun kesana kemari. Saya merasa tempat ini benar benar bagus. Saya membalikkan badan, masuk ke dalam alam itu.

"Siapa kau?" Seorang anak kecil yang paling senior bertanya.
"Saya baru mau tanya kau ini siapa?" Saya balik bertanya.
"Saya tidak akan memberitahu mu."

Anak kecil itu punya kewaspadaan, tidak mau sembarang menjawab. "Kau, tuyul kecil, tidak mau menjawab, juga tidak apa-apa. Saya sudah tahu bahwa kalian pasti ada hubungan nya dengan restoran mie itu. Kalian lah yang membuat usaha di restoran ini menjadi sangat laris. Kalian telah menarik semua pengunjung. Ayo, betul tidak?"

Kata-kata saya mengejutkan mereka semua. Mereka membisu, saling menatap. Akhirnya yang paling senior bertanya, "Apakah salah berbuat seperti itu?"
Saya tidak bisa cepat menjawabnya. "Tetapi ini tidak alamiah." Akhirnya saya jawab.
"Restoran ini adalah restoran papa saya. Saya harus bantu siapa kalau bukan membantunya?"
"Pantas saja."

Tuyul yang paling senior itu bertanya lagi kepada saya, "Siapa kau? Bagaimana bisa masuk ke dalam taman kami?"
"Saya adalah Lu Sheng Yen."

"Oh! Kau adalah Lu Sheng Yen, Dewa Agung. Ternyata kau adalah Dewa Agung. Kami tidak tahu bahwa Dewa Agung akan datang kesini. Mohon ampun atas ketidaktahuan kami. Dari dulu kami sudah mendengar nama besar Dewa Agung, tahu bahwa kau bisa berkelana ke dunia roh, bahwa kau memahami Dharma mulia dan telah mencapai tingkat tertinggi. Dewa Agung bersikap welas asih dimana saja. Semoga anda tidak merusak kebajikan yang sedang kami lakukan." Tuyul itu pintar sekali bicara.

"Kau hanya membantu usaha ayahmu. Ini tidak apa apa. Tapi, kalian tidak boleh mengganggu dan mencelakakan warga disini."
"Tentu saja, tentu saja." Tuyul lainnya berkata, "Kami tidak begitu kok."
Saya bertanya, "Bagaimana kalian bisa berkumpul bersama?"
Si tuyul senior memberitahu saya: la bernama Shen Fu, meninggal dunia pada usia 12 tahun karena sakit. Selama beberapa lama, arwahnya gentayangan dan terlantar.

la sendiri tidak mengerti apa sebabnya.Kemudian di rumahnya sendiri, ia menemukan barang mainan yang dulu dibeli ayahnya. Ada sebuah mangkok kecil, diisi dengan air, di atasnya ada tanaman bunga kecil, ada pohon kecil, ada sebuah batu gunung buatan.Shen Fu menempel di batu gunung tersebut. Lalu, Shen Fu masuk ke dalam mimpi ibunya dan berkata, "Arwah saya  tidak punya tempat tinggal sehingga menempel di batu gunung. Bila saya dipelihara, menerima sedikit asap dupa, maka usaha restoran mie bisa membaik." Setelah bangun, ibu Shen Fu menceritakan mimpinya kepada sang suami.

Papa Shen Fu adalah orang yang sama sekali tidak percaya kebenaran mimpi, "Apa-apaan. Mengambil mangkok kecil, memasukkan mainan ke dalamnya, memasang dupa. Pepatah mengatakan bahwa mimpi muncul hanya karena hati merindukan. Omong kosong seperti ini tidak usah dipercaya." Menyadari ia belum berhasil, Shen Fu jadi resah dan masuk lagi ke dalam mimpi ibunya, "Usaha besok 808."

Esok pagi, si ibu menceritakan lagi mimpinya kepada sang suami. Papa Shen Fu masih belum perduli. Ketika hampir tutup restoran, ia menghitung uang permasukan hari itu dan mendapatkan jumlahnya hanya sekitar 400. Dalam hati, papa Shen Fu berpikir, "Tuh kan omong kosong dalam mimpi itu tidak tepat. Memasang mangkok kecil dan batu gunung, arwah bersemayam di batu gunung, semuanya hanya omong kosong belaka."

Pintu restoran sudah ditutup separuh. Tak disangka, masuk sekelompok pelajar yang bertanya apakah restorannya masih berjualan atau tidak. Papa Shen Fu menjawab, "Masih jual." Kuali dipanaskan lagi. Mie dimasak lagi. Daging sapi sejak semula memang sudah matang. Satu kelompok pelajar secara bergiliran datang. Ternyata pelajar-pelajar ini adalah siswa yang pergi study tour dengan naik bis pariwisata. Karena hari sudah mulai malam, semua pelajar itu sepakat bahwa setelah makan mie barulah pulang. Papa Shen Fu menghitung lagi hasil pemasukan hari itu. Ternyata benar-benar 808. la menjadi tertegun. Setelah beberapa hari, Shen Fu masuk lagi ke dalam mimpi, meramalkan terjadinya sesuatu hal.

Ternyata memang terjadi sesuai petunjuk Shen Fu. Kitab Suci Buddha menyebutkan bahwa arwah punya lima jenis kemampuan gaib.Ternyata tidak salah. Sekarang ayah dan ibu Shen Fu sudah percaya seluruhnya. Mereka memasang mangkok kecil dan batu gunung sesuai petunjuk Shen Fu. Diatas batu, hanya dituliskan satu kata yaitu "Roh". Dupa dipasang pada pagi dan malam hari. Mengenai arwah tuyul-tuyul lainnya, mereka diajak berkumpul oleh Shen Fu. Ini adalah sebab utama mengapa restoran mie yang dibuka ayah Shen Fu sangat laris dan reputasinya terkenal ke semua penjuru. Saya menghela nafas dan berkata, "Bahwa kau membalas budi pada orang tua, saya tidak bisa berkomentar apa apa. Namun, berkumpulnya para roh janin (tuyul) disini akan lambat laun membuat hawa negatif (yin) menyelimuti tempat ini. Bila kelak timbul akibatnya, bukankah bisa menimbulkan dendam?"

"Dewa Agung. Selamatkanlah jiwa kami semua."
"Apakah kau mau reinkarnasi?" tanya saya.
"Mau."
"Menurut perhitungan saya, ayahmu masih mempunyai berkah selama 3 tahun. Kalian bantu dia selama 3 tahun lagi. Kau boleh masuk ke dalam mimpi orang tua mu, memberi petunjuk kepada mereka supaya meletakkan mangkok kecil dan batu gunung di loteng paling atas dari restoran mie ini sehingga menerima saripati matahari dan bulan, mengambil hawa roh dari langit dan bumi. Setelah pas 3 tahun, otomatis akan kembali ke asal, lalu bisa reinkarnasi lagi di dunia manusia."

Shen Fu menjawab, "Kami semua dingin dan kotor. Mana sanggup menerima saripati matahari dan bulan?"
"Berdasarkan titah Hu dari saya, maka akan bisa." Saya menggambar titah Hu di atas tubuh mereka.
Mereka sangat gembira. Titah Hu ini bukan Hu biasa. Saya menggarnbar dengan menggunakan jari, menggerakkan prana secara terkonsentrasi. Mereka berlutut mengantar kepergian saya.

Saya membalikkan badan, pergi dengan langkah besar. Hari itu, bila ada orang yang bertemu dengan saya di jalan, pasti melihat saya seorang diri sedang berdiri di jalan raya, bicara sendiri, sesekali menggerakkan tangan dan kaki. Orang lain pasti akan mengatakan, "Orang ini sakit jiwa."

Saya menulis sebuah sajak untuk mengenang kejadian ini: Kaisar Langit melahirkan saya di dunia fana. Dengan semu melewati semi dan gugur penderitaan di dunia. Bagaimana tahu kadang-kadang masuk yin dan yang. Memberi bimbingan berdasarkan jodoh bukanlah hal biasa.

Sekitar 3 tahun kemudian, saya kebetulan berjalan melewati restoran mie itu lagi. Saya masuk ke dalam, memesan satu mangkok mie daging sapi. Terlihat usaha restoran ini tidak selaris dulu lagi. Di depan pintu, sudah tidak ada orang yang antri berbaris. Yang menjual mie tinggal ayah dan ibu Shen Fu, sudah tidak ada pelayan lagi.

Ibu Shen Fu menghidangkan semangkok mie kepada saya, namun ia tersandung lantai yang tidak rata sehingga mie tertumpah di lantai. Ayah Shen Fu mengeluh, "Sial. Mie bisa tumpah." Mendengar omelan si suarni, ibu Shen Fu balas mengomel, "Kau yang tidak berguna, malah mengorneli saya." Ayah Shen Fu berkata, "Bukan saya yang tidak berguna. Mangkok kecil dan batu gunung itu yang tidak berguna. Shen Fu yang tidak berguna."

Mendengar suami istri itu bertengkar, saya berkata, "Harga semangkok mie tidak seberapa. Janganlah bertengkar karena persoalan kecil ini. Putra kalian telah membantu rejeki kalian selama bertahun tahun. Kalian harus benar-benar menghargainya. Sekarang ia telah beristirahat. Hidup ini adakalanya mujur, adakalanya tidak. Hidup manusia dikuasai takdir. Ada saatnya bunga mekar. Tidak mungkin orang senantiasa mujur."

Mendengar ucapan saya, ayah Shen Fu tertegun, "Siapa anda?"
"Lu Sheng Yen."
Ibu Shen Fu terperanjat, "Lu Sheng Yen. Nama ini sangat saya kenali. Shen Fu berulang kali berpesan bahwa kami harus belajar Dharma dari mu, bahwa kau adalah Dewa Agung sejati."
Saya tertawa, "Saya bukan Dewa Agung. Saya adalah Vajra Master."

Saya berbincang-bincang tentang Buddha Dharma dengan suami-istri tersebut. Mereka sangat tertarik, lalu berguru kepada saya. Di kemudian hari saya makan mie disitu, tidak perlu membayar lagi. Ha..ha..ha!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar